Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Sabtu, 30 Maret 2013

Sekilas Masalah Pertunjukan Wayang


Manusia menciptakan kesenian adalah untuk meraih keindahan sebagai bagian dari upaya menggapai pencerahan. Dari keindahan itu manusia memperoleh penghayatan tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan sebagainya yang kesemuanya itu bermuara kepada kedewasaan, kepekaan, dan kecerdasan jiwani atau batiniah. Maka estetika dan etika merupakan dua aspek yang menjadi ciri penanda salah satu unsur kebudayaan manusia yang disebut kesenian. Estetika adalah ilmu pengetahuan tentang keindahan, etika adalah ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Kedua aspek itulah di dalam dunia seni pedalangan yang secara sederhana dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Namun sebenarnya istilah tontonan dan tuntunan maknanya tidak sama persis dengan estetika dan etika. Tontonan dan tuntunan adalah sebuah konsep pemikiran yang terjemahannya cenderung mendangkalkan makna estetika dan etika. Tontonan lebih bermakna sebagai hiburan, tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman. Hiburan lebih berarti sebagai wahana pencapaian kesenangan, yakni kepuasan atas hasrat inderawi, tidak sampai kepada wilayah jiwani. Sedang tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman yang bersifat normatif dan statis. Maka istilah tontonan dan tuntunan bila tidak disikapi secara hati-hati justru akan menjebak pelaku seni pada kegiatan kreatif yang hanya bersentuhan dengan hasrat inderawi dan penyampaian pesan nomatif secara vulgar. Perilaku kreatif yang demikian sulit rasanya melahirkan bentuk kesenian atau seni pertunjukan yang mampu memberikan daya rangsang penghayatan yang bersifat jiwani atau pencerahan. Sebab tontonan hanya memberi kepuasan inderawi dan sesaat; tuntunan cenderung menyampaikan nilai-nilai secara verbal dan vulgar atau menggurui.
Kesenian yang mampu memberi pencerahan adalah kesenian yang tidak menggurui. Penikmat atau penonton dibiarkan menafsir dan menangkap pesan makna sesuai dengan latar dan kemampuan masing-masing. Seseorang yang berlatar profesi sebagai guru dengan seorang petani niscaya akan memiliki tafsir yang berbeda atas pesan makna yang disampaikan oleh sebuah seni pertunjukan. Maka jaman dulu pagelaran wayang kulit selalu ditutup dengan golekan ‘sajian wayang golek’, yang konon artinya penonton diminta mencari sendiri makna cerita yang digelar oleh dalang semalam suntuk. Dari fenomena golekan tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa seni pertunjukan wayang kulit di masa lalu memang tidak menggurui, tetapi menyampaikan pesan melalui struktur lakonnya.


Kesenjangan Komunikasi
Seiring dengan aspek entertainment yang makin mendominasi seni pertunjukan wayang, unsur-unsur estetik yang membangun struktur kesenian tradisonal tersebut makin kehilangan fungsinya, atau mengalami penyimpangan atas fungsi yang sebenarnya. Memang seni pertunjukan wayang masih banyak dihadiri penonton, muatan pesan-pesan dari berbagai kepentingan dari luar masih dapat tersalurkan, namun pesan nilai yang terkandung dalam cerita atau lakonnya sendiri semakin tidak terpahami oleh penonton. Oleh karena keterbatasan penguasaan bahasa yang dimiliki penonton maka wejangan ‘petuah’ brahmana yang begitu sarat nilai ajaran keutamaan menjadi menguap begitu saja, tidak sempat tertangkap dan tercatat di benak penonton. Penderitaan yang dialami Dewi Sinta karena ulah Rahwana pun tak lagi mampu menyentuh jiwa khalayak pemirsa. Hal itu menunjukkan kepada kita kesenjangan komunikasi yang mulai terjadi membuat eksistensi dan potensi seni pertunjukan wayang (baca: wayang kulit purwa) sebagai kesenian yang menjadi wahana pencerahan makin menurun.
Kesenjangan komunikasi antara penonton dan pertunjukan wayang tanpa disadari telah mulai berlangsng. Artinya bahwa penonton mulai kesulitan menangkap dan mencerna cerita yang dibawakan oleh dalang. Kebanyakan penonton, terutama generasi muda sudah tidak paham terhadap kisah yang dibawakan oleh dalang. Ketidak-pahaman tersebut bukan semata-mata karena faktor kendala bahasa, yang mana masyarakat kita terutama generasi muda makin asing dengan bahasanya sendiri, melainkan juga karena kurangnya bekal pengetahuan tentang latar belakang budaya yang membentuk seni pertunjukan wayang. Kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang lahir berlatar kebudayaan kerajaan. Sementara masyarakat kita telah bergeser ke peradaban modern dengan pola kehidupan industrialis. Perubahan kebudayaan yang sedemikian pesat itu membuat generasi muda kita terputus dengan informasi dan pengetahuan tentang kebudayaan masa lalu.
Seni pertunjukan wayang yang dibesarkan oleh kebudayaan keraton, sudah barang tentu kesenian ini akan banyak bercerita perihal kehidupan keraton. Tokoh-tokoh ceritanya didominasi oleh kaum elit kerajaan (raja, ksatria, brahmana) dan para dewa. Ungkapan-ungkapan dan bahasanya banyak mengacu yang berkembang di keraton. Demikian pula konflik-konflik dan permasalahan yang diangkat lebih banyak berkutat di wilayah konflik dan permasalahan kaum elit keraton. Sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada kisah yang mengangkat persoalan-persoalan kaum kelas bawah. Dengan kata lain kisah cerita yang disajikan oleh seni pertunjukan wayang adalah potret atau gambaran kehidupan masyarakat kerajaan di masa lalu.
Kini masyarakat kita telah berubah. Bentuk pemerintahan kerajaan bergeser ke bentuk pemerintahan republik. Susunan masyarakat telah berubah, demikian pula cara hidup dan berpikir masyarakat sudah berbeda dengan masa lalu. Ketika seni pertunjukan wayang masih bertahan di dunia masa lalu apakah masyarakat sekarang masih bisa mengerti dan menghayati? Kiranya sulit bagi kita untuk memahami apa lagi menghayati sesuatu yang tidak kita mengerti. Dengan demikian jelas bahwa tujuan pencerahan yang diharapkan dari seni pertunjukan wayang nampaknya sulit dicapai.

Revitalisasi Seni Pertunjukan Wayang
Sampai saat ini seni pertunjukan wayang memang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Fakta itu bukan berarti menjadi jaminan bahwa seni pertunjukan wayang akan bertahan selamanya. Kecuali bila secepatnya kita dapat mengantisipasi persoalan-persoalan yang dihadapinya, terutama persoalan kesenjangan komunikasi seperti terurai di atas.
Guna menghantar seni pertunjukan wayang agar dapat mengarungi perjalanan sejarah hingga masa depan diperlukan sebuah usaha revitalisasi. Yakni sebuah usaha yang tidak hanya sebatas menjaganya tetap ada, namun juga bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat yang dimaksud bukan sebatas bermakna kepentingan sesaat, semisal kepentingan politik dan propaganda pihak tertentu, melainkan makna yang lebih besar lagi yakni membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Usaha revitalisasi itu langkah konkritnya seperti apa, kiranya kita semua juga belum tahu pasti. Langkah awal yang terpenting adalah adanya kesadaran dan kemauan untuk secara bersama-sama melakukan proses pembenahan dan perubahan menuju target revitalisasi.
Upaya revitalisasi adalah usaha untuk membuat seni pertunjukan wayang agar hidup dan berdaya guna kembali sesuai dengan fungsi keberadaannya sebagai kesenian. Usaha menuju revitalisasi tersebut pertama-tama harus dipahami tentang hakekat pertunjukan wayang sebagai sebuah kesenian, tentang karakteristik dan perilakunya dalam menjaga keberadaannya. Pemahaman itu dapat kita peroleh dari mempelajari perjalanan sejarahnya.

Seni Pewayangan
Seni pewayangan di kalangan masyarakat umum dipahami sebatas seni pertunjukan wayang. Namun sesungguhnya seni pewayangan sebagai media ekspresi memiliki tiga bentuk ekspresi, yakni ekspresi yang berakar pada tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi rupa. Masing-masing bentuk ekspresi seni pewayangan tersebut masih berkembang hingga saat ini.
Seni pewayangan yang berakar pada tradisi lisan adalah seni pertunjukan wayang seperti yang sering kita tonton hingga saat ini. Di dalam bentuk seni pertunjukan ini pun terdapat beragam bentuk, corak dan gaya, yang dapat disebutkan antara lain: wayang kulit purwa, wayang golek, wayang kulit betawi, wayang kancil, wayang krucil, wayang menak, wayang beber, wayang orang, wayang wahyu, dan lain sebagainya. Masing-masing jenis pertunjukan wayang tersebut menunjukkan perbedaan pada bentuk boneka, bahan yang digunakan untuk boneka, sumber cerita, maupun ciri kedaerahan. Seperti misalnya wayang kulit purwa bentuk bonekanya pipih dua dimensi terbuat dari bahan kulit, sumber cerita mengambil dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Tengah dan Jawa timur. Kemudian wayang golek Sunda bentuk bonekanya tiga dimensi terbuat dari bahan kayu, sumber cerita dari dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Barat, dan sebagainya.
Seni pewayangan yang berakar pada tradisi tulis adalah berbentuk sastra wayang. Di era Jawa Kuno sastra wayang ini sudah berkembang, biasanya berbentuk kakawin (puisi Jawa Kuno), seperti misalnya karya para empu di Jawa: Kakawin Bharatayudda, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Ramayana, dan sebagainya. Di jaman kerajaan pasca era Jawa Kuno, sastra wayang pun tetap berkembang dan melahirkan banyak tulisan karya para pujangga, seperti Serat Kandha, Serat Pustakaraja Purwa, dan lain sebagai yang jumlahnya ratusan. Kemudian setelah Indonesia merdeka sastra wayang juga tetap berkembang, bahkan tidak sebatas monopoli bahasa Jawa, tetapi banyak yang ditulis ke dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Inggris, seperti misalnya novel wayang “Hamba Sebut Paduka Ramadewa” oleh Herman Pratikto, “Anak Bajang Menggiring Angin” oleh Sindhunata, “Wisanggeni Sang Buronan” oleh Seno Gumira Ajidarma, dan lain sebagainya.
Kemudian seni pewayangan yang berakar pada tradisi rupa adalah berbentuk lukisan, relief dan patung-patung wayang. Cerita-cerita wayang banyak memberi inspirasi kepada seniman perupa sehingga terlahir banyak karya lukisan, relief dan patung wayang seperti yang sering kita temui di berbagai tempat.
Seni pertunjukan wayang adalah media ekspresi yang didalamnya terdapat beragam unsur seni yang lengkap, yakni: seni sastra, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni rupa. Di samping secara struktur pertunjukannya merangkum berbagai unsur seni, dalam kisah yang di bawakannya banyak mengandung nilai-nilai ajaran moralitas, budi pekerti, maupun filsafat yang kesemuanya menawarkan nilai-nilai keluhuran. Maka tidak heran bila seni pertunjukan wayang kemudian diberi label sebagai kesenian yang adi luhung.


Tugas dan Fungsi Dalang
Seni pedalangan pada dasarnya berakar dari tradisi tutur, yakni tradisi penyampaian pesan secara lisan. Menurut hasil penelitian para sarjana, jauh sebelum seni pedalangan terbentuk, sekian puluh abad yang lalu di Jawa terdapat tukang dongeng yang disebut Saman. Fenomena Saman ini muncul ketika orang Jawa belum mengenal tulisan atau tradisi tulis. Tugas seorang Saman adalah mendongeng tentang roh-roh leluhur sebagai bagian dari kegiatan upacara ritual keagamaan. Untuk menggambarkan secara visual roh-roh leluhur tersebut Saman membuat benda yang ketika disinari api memunculkan bayang-bayang. Dari fenomena permainan bayang-bayang inilah diperkirakan sebagai awal mula muncul istilah “wayang” yang berarti bayang-bayang.
Setelah tradisi tulis muncul dan berkembang, mulailah bermunculan pustaka-pustaka hasil karya para pujangga kerajaan yang memperkaya sumber cerita masyarakat. Dalam perkembangannya, di samping Saman, muncul lagi pendongeng yang mengangkat cerita yang bersumber dari pustaka-pustaka karya para pujangga. Pendongeng tersebut disebut sebagai Wiracarita. Baik Saman maupun Wiracarita, di dalam mendongeng melengkapi diri dengan alat bantu peraga yang kemudian disebut sebagai wayang. Entah mulai kapan, lama kelamaan sebutan Saman dan Wiracarita tersebut hilang, pendongeng yang menggunakan alat bantu peraga berupa wayang berganti sebutan sebagai “Dalang”.
Dari ilustrasi singkat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa hakekat dalang adalah sebagai pendongeng. Ia menyampaikan kisah dengan dibantu dengan alat peraga wayang dan iringan bunyi-bunyian (gamelan) untuk mendukung kisah yang diceritakannya agar menjadi lebih menarik. Dengan maksud untuk meraih perhatian dan antusiasme audien atau penonton terhadap cerita dalang secara lebih besar. Besarnya perhatian dan antusiasme tersebut merupakan pintu bagi masuknya pesan-pesan nilai yang terkandung dalam cerita.
Bila kita kembalikan pada perkembangan seni pertunjukan wayang pada umumnya di masa sekarang, potensi dalang sebagai pendongeng memang semakin luntur. Posisi unsur cerita atau lakon sebagai panglima dari struktur pertunjukan wayang menjadi terbalik. Eksplorasi atau penggarapan alat peraga (wayang) maupun iringan (gamelan) lebih mendominasi sehingga melemahkan unsur cerita atau lakon yang seharusnya diperkuat oleh kedua unsur tersebut. Seloroh bahwa dalang sekarang tak lebih sekadar sebagai MC, kiranya dimaksudkan untuk mengkritisi memudarnya hakekat peran dalang sebagai pendongeng, Saman, atau Wiracarita. Dalang dinilai tidak lagi memproyeksikan diri sebagai pendongeng namun sebatas sebagai pemegang kendali pertunjukan. Dalang tidak lagi mengidupkan wayang melainkan menghidupkan pertunjukan. Keberadaan panggungan, yakni ruang layar selebar tangan dalang merentang sebagai pusat pertunjukan, menjadi hilang tertelan oleh panggung (stage) yang mejadi ajang aktivitas dalang, pengrawit dan pesinden. Figur wayang yang rata-rata setinggi 40 sampai dengan 90 centimeter menjadi kabur oleh kemilau logam perunggu, rampaknya kostum pengrawit, dan indahnya tata rias pesindhen. Maka kesentosaan sosok Bima, kelicikan Patih Sengkuni, dan kekonyolan Buta Cakil tidak lagi dikenali penonton, yang membekas dibenak mereka adalah kesohoran nama dalang dan pesinden. Malang bagi pengrawit yang secara individu jarang tersebut namanya…
Istilahnya begitu sederhana: pendongeng! Namun untuk menjadi dalang yang pendongeng memang tidak mudah, terlebih di era percepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak besar pada perubahan masyarakat dewasa ini. Seorang dalang dituntut tidak hanya menguasai estetika pedalangan namun juga harus memiliki keluasaan wawasan ilmu pengetahuan berbagai bidang, seperti hukum, politik, filsafat, ekonomi, pendidikan, kesusasteraan, ketatanegaraan dan sebagainya agar setiap sajian yang ditampilkan relevan dengan kehidupan kekinian. Dengan demikian apa yang disajikan akan benar-benar disimak oleh penonton karena bersinggungan dengan problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.
Paling tidak ada tiga fungsi sosial dalam menyajikan wayang yaitu; (1) sebagai komunikator, sang dalang berfungsi menyampaikan pesan-pesan pembangunan lewat pakeliran dengan cara mengolah pesan tersebut ke dalam bahasa pedalangan tanpa mengurangi mutu penyajiannya. Misalnya dalam penyampaian pesan keluarga berencana atau lingkungan hidup harus ditempatkan pada adegan yang cocok serta empan papan, bias ditempatkan pada adegan perang ampyak atau gara-gara; (2) sebagai innovator, dalam hal ini seorang dalang harus dapat menempatkan diri pada suatu posisi yang tidak memihak kepada salah satu norma tertentu, melainkan harus berorientasi ke masa depan sehingga karya-karyanya relevan dengan zaman sekarang, serta dapat menjadi motivasi timbulnya proses perubahan sosial; (3) sebagai emansipator, artinya seniman dalang membantu mengantarkan para penonton secara kelompok atau individual ke tingkat perkembangan kepribadian yang lebih tinggi dengan cara peningkatan daya apresiatif, kepekaan rasa yang pada gilirannya akan memperkaya pengalaman jiwanya selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku dan perubahan sikap (Soetarno, 1987:3).
Dengan demikian setiap sajian wayang kulit diharapkan menjadi wahana pencapaian pengalaman estetis, disamping tujuan-tujuan lain seperti hiburan, propaganda dan sebagainya. Suatu pengalaman estetis tidak berarti harus indah tetapi juga berarti mengerikan, memuakkan, menegangkan, menakutkan, mengharukan dan sebagainya.
Salah satu tugas utama dalang sebagai seniman adalah menghantar pesan melalui pertunjukan wayang. Pesan itulah yang ketika ditangkap dan dicerna kemudian akan mempengaruhi perilaku manusia. Oleh karena itu seorang dalang selain sebagai agen pencerahan juga dapat disebut sebagai agen perubahan. Dalang sebagai seniman sepantasnya berjiwa revolusioner dan visioner. Untuk itu dalang dituntut memiliki keluasan wawasan pengetahuan dan cakrawala pandang yang lebih dari pada manusia rata-rata.
Persyaratan seorang dalang menurut tradisi kraton Surakarta seperti termuat dalam tembang Mijil sebagai berikut.
Wus jamake jeneng dalang yekti, kudu wruh lelakon, ora amung lelucone wae, sabet crita tutuk tur gendhingi, yen isine sepi, sepen sepa samun” (Soetarno 1989:4)

“Seorang dalang sejati harus memahami lakon (cerita) yang ditampilkan tidak hanya humornya saja, tetapi juga menguasai gerak wayang, dialog tokoh wayang, serta musik (karawitan) namun jikalau isinya tidak ada maka pakelirannya terasa hambar”.
Dengan demikian isi pesan atau sesuatu yang disampaikan oleh dalang dalam pertunjukan wayang adalah sangat penting. Isi pesan yang disampaikan dapat melalui prabot atau sarana sabet (gerak wayang), catur (dialog), narasi serta lakon (alur ceritera).
Namun pada perkembangannya sekarang hampir di setiap pertunjukan wayang kulit terutama, semakin miskin pesan. Seniman dalang pada umumnya larut terhadap keinginan penonton yang mengumbar selera ramai, gobyok, humor yang berbau porno, lagu pilihan pendengar, sabet yang akrobatik dan sebagainya. Orientasi kepentingan materialistik dalang cenderung mengorbankan kualitas pakeliran. Hidup memang perlu uang. Namun demikian seyogyanya kepentingan ekonomis jangan sampai mengorbankan nilai-nilai etik dan estetik seni pertunjukan wayang.
Dalang sejati akan selau menyajikan pertunjukan yang sarat pesan nilai: spiritual, moral, kemanusiaan, patriotisme, keadilan, pengabdian, kesetiakawanan dan sebagainya yang kesemuanya tersalur melalui struktur pertunjukan yang ada. Kepekaan rasa dan ketajaman mata dalang terhadap masalah yang berkembang di masyarakat berpadau dengan kepiawaiannya mentransfer melalui struktur pertunjukan yang ada akan benar-benar mampu membawa pertunjukan wayang sebagai media pencerahan.
Seni pedalangan memiliki banyak teori yang berkaitan dengan aspek dramatisasi. Dramatisasi merupakan gerbang utama bagi tersalurnya pesan cerita kepada penonton. Unsur-unsur yang membangun aspek dramatisasi dalam seni pedalangan, antara lain: regu seorang dalang dapat menyajikan suasana yang wibawa, mrabu yakni agung atau luhur misalnya dalam adegan jejer; greget, dapat menimbulkan suasana tegang, yang dapat mempengaruhi penonton; semu, dalam adegan tertentu seorang dalang dapat menampilkan suasana yang romantik, rasa asmara khususnya dalam adegan percintaan. Nges, seorang dalang harus mampu menimbulkan rasa sedih, haru dan memukau penonton; renggep, dalam penampilannya suasana pakeliran tetap hidup bersemangat tidak kendor, serta antara adegan yang satu dengan adegan yang lain merupakan kesatuan yang utuh dan ada kaitannya; cucut, seorang dalang dapat membuat humor yang sehat; unggah-ungguh, seorang dalang dapat menempatkan tatakrama baik dalam penerapan bahasa (janturan, antawecana) sabet (tancepan, perang, gerak wayang/solah] dan sebagainya; tutuk, seorang dalang dapat membeberkan lakon yang disajikan dengan jelas, runtut sehingga penonton dapat terbawa dan terpukau/ dapat menggetarkan jiwa penonton; trampil, artinya seorang dalang harus lincah serta cekatan dalam penguasaan sabet [gerak wayang]; catur, [bahasa, antawecana, janturan]; iringan [suluk, karawitan, keprakan], maupun dalam menggarap lakon [Soetarno 1987:4].
Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek estetik maupun etik yang harus dibawakan oleh dalang sering tidak mampu berjalan karena banyaknya hambatan dari luar. Tekanan faktor eksternal bukanlah hal yang gampang dihadapi dalam rangka menjaga eksistensi dalang sebagai pendongeng. Faktor tekanan dari luar beraneka ragam dan sangat kompleks. Pesan sponsor, trend tuntutan massa penonton, intervensi penanggap, adalah kendala-kendala kasat mata yang sulit terantisipasi.
Budaya materialisme yang makin menguat adalah kendala yang tidak kasat mata namun benar-benar menghantui keimanan para dalang. Kemudian kendala-kendala dari dalam yang berhubungan dengan aspek estetik juga menjadi masalah yang cukup pelik, yang mempersulit dalang untuk dapat kembali menjadi pendongeng. Aspek kebahasaan dan norma estetik yang kuat mengikat merupakan persoalan internal yang sulit diurai oleh dalang  sekarang agar menjadi pendongeng yang komunikatif.
Oleh sebab kompleksitas kendala sebagaimana tersebut di atas maka tidak adil bila usaha agar seni pertunjukan wayang bisa kembali kepada hakekatnya sebagai sumber pencerahan hanya dibebankan di pundak para dalang dan seniman pendukungnya. Sebaliknya fakta persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan wayang tersebut hendaknya menyadarkan para dalang untuk mau terbuka dan bekerja sama dengan pihak lain sehingga beban tugas yang begitu berat tersebut bisa dikerjakan secara bersama-sama.

Peluang Bekerja Sama
Sebenarnya ada pihak-pihak yang menyediakan diri membantu para dalang untuk melakukan proses pencarian dalam rangka menegakkan kembali keberadaan seni pertunjukan wayang sebagai wahana pencerahan. Di lingkungan masyarakat kita banyak terdapat penulis-penulis buku cerita wayang yang dapat diajak bekerja sama untuk menafsir kembali cerita wayang agar kontekstual dengan jamannya. Juga ada individu tokoh mayarakat maupun lembaga-lembaga yang punya perhatian terhadap kehidupan kesenian tradisional, yang bisa diajak bekerja sama membangun ruang dan peluang berekspresi. Sekarang tinggal sejauh mana para dalang mau dan mampu memanfaatkan ruang dan peluang yang ada dan disediakan oleh pihak lain tersebut.

Ki Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen

1 komentar:

  1. manusia menciptakan kesenian.manusia adalah sang creator.
    dalam mencipta, musuh besar bagi sang creator adalah hegemoni kesenian yang telah mapan dan dimapankan oleh kekuasaan.

    Wayang Kampung Sebelah, telah melalui fase benturan-benturan hegemonik.terbukti dengan diterimanya kesenian wayang kampung sebelah oleh masyarakat.

    dengan demikian, selamat mencipta dan mencerahkan bersama kesenian.

    mengungkap hal serius tidak dengan cara yang serius.hah ha...dasar Kampret.

    BalasHapus