Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Sabtu, 30 Maret 2013

Modal Politik



Kegaduhan dan tragedi sosial kian hari makin merebak. Markas polisi dibumi-hanguskan sekelompok prajurit TNI. Pembantaian di lapas oleh sekelompok “siluman” bersenjata. Seorang Kapolsek meregang nyawa dihakimi massa. Tawur antar kampung menelan korban harta dan nyawa sia-sia. Makin hari negara ini serasa kian sesak oleh keliaran-keliaran. Kita serasa hidup di sebuah negeri tanpa tatanan. Hukum dan etika rasanya sudah benar-benar mati di bumi pertiwi yang konon kesohor dengan keutamaan kepribadiannya.
“Saya makin miris, Pret. Apalagi orang kecil seperti kita ini. Kalau terjadi apa-apa lantas kemana harus berlindung?” keluh Lik Karyo.
“Di kuburan, Lik,” jawab Kampret singkat. “Semua ini terjadi gara-gara politik negeri ini dipimpin oleh uang. Kita sudah salah memilih modal politik” lanjutnya kemudian.
Modal politik ada tiga: uang, pisik dan pengetahuan. Mana salah satu yang ada di depan ia akan mengatur dan mengintegrasikan dua yang lainnya. Rezim Orde Baru menempatkan kekuatan pisik untuk mengintegrasikan pengetahuan dan uang. Kharakter politiknya represif. Atas nama kepentingan negara Soeharto selalu menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi setiap masalah yang dianggap berbahaya, terutama bagi kepentingan dirinya sebagai penguasa. Pengetahuan dan uang benar-benar tunduk di bawah moncong senjata. Dunia intelektual ditekan sedemikian rupa agar melayani kepentingan penguasa. Ilmu pengetahuan yang tidak sejalan dengan pikiran dan kepentingan penguasa tidak akan dibiarkan berkembang. Pikiran-pikiran kritis menyangkut semua segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sama sekali tidak diberi ruang. Media massa yang berani kritis akan dibreidel. Seniman, aktivis, penulis atau siapa pun yang berani bertentangan dengan jalan pikiran penguasa bisa-bisa tinggal nama. Demikian pula dunia ekonomi. Monopoli usaha dikuasai kroni-kroninya. Ekonom harus tunduk melayani kepentingannya. Potensi diluar jaringannya tidak dibiarkan berbuat leluasa. Siapa berani berseberangan langsung digebuk.
“Semua harus satu kata, satu suara, satu eka prasetya pancakarsa,” seloroh Kampret.
“Wah. Kamu nyindir P4, Pret?” tanggap Lik Karyo.
“P4 kan memang alat bius massal agar masyarakat Indonesia terbuai indahnya bunyi-bunyian Pancasila. Dengan P4 kita dibius sehingga tidak memperhatikan bahwa pemimpin dan penyelenggara negaranya justru telah mengkhianati Pancasila. Rakyat dikejar-kejar agar Pancasilais, sebaliknya penguasa rezim Orba membuka lebar pintu liberalis,” jelas Kampret.
“Lha terus, di era reformasi ini gimana, Pret?” tanya Lik Karyo Kemudian.
Rezim reformasi ini sudah tidak lagi menggunakan kekuatan pisik sebagai modal politik. Militer sudah dipaksa kembali ke barak. Rezim kini kemudian menempatkan uang sebagai ujung tombak perpolitikan. Semua serba transaksional. Siapa punya uang dia menang. Intelektual tunduk di bawah uang. Aparat negara dan penegak hukum bertekuk lutut di hadapan uang. Aktivis, politisi, agamawan, seniman pun nyaris semuanya tak berkutik berhadapan dengan uang.
“Apalagi orang bodoh dan melarat kayak saya ini, Pret. Seperak sangat berarti. Nggak peduli rampok, maling, bandar togel, atau koruptor, ada seperak-dua perak ya saya coblos. Hehehe…” gurau Lik Karyo.
“Dan nggak sadar kita masyarakat sendirilah yang sesungguhnya telah beternak koruptor. Demokrasi transaksional, politik transaksional hanya beternak koruptor dan kekejaman. Hukum rimba jelas jadi jalan politiknya,” ucap Kampret.
Uang bisa beli senjata. Uang bisa beli pasukan. Siapa merasa terancam atau terbakar dendam bisa dengan mudah menyarangkan peluru ke sasaran. Kasus bayaran, demonstran bayaran, laskar bayaran hingga pembunuh bayaran bukan hal sulit selama ada uang. Ketahuan dan tertangkap? Ah, itu gampang diselesaikan dengan uang.
“Blaik! Kondisi seperti itu kayaknya akan sulit dihentikan. Terus sampai kapan?” gumam Lik Karyo.
Sampai nanti terbentuk lapis sosial baru yang mengusung “the power of knowledge” sebagai asas politik. Pengetahuan adalah penghantar pemahaman baik-buruk dan benar-salah. Penghayatan atas pemahaman adalah yang membentuk kesadaran dan keyakinan. Maka pengetahuan itulah yang harus menggerakkan jiwa dan tubuh manusia Indonesia. Kita bukan bergerak karena uang, juga bukan bergerak karena tekanan pisik, tetapi bergerak benar-benar karena kekuatan pengetahuan.
Kita punya pengetahuan bahwa Pancasila adalah rumusan dasar negara dan ideologi terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia. Namun ketika pengetahuan itu belum menjadi kekuatan dalam jiwa-raga seluruh elemen bangsa kita, maka Pancasila hanya akan menjadi sebatas bunyi-bunyian jauh dari kenyataan, hukum rimba pun berkepanjangan.
“Kata kuncinya, pengetahuan harus mengintegrasikan pisik dan uang. Maka kamu sebagai penarik becak juga harus punya ‘power of knowledge” peraturan lalu lintas agar tidak seenaknya nerabas lampu bang-jo, Lik,” seloroh Kampret seraya beranjak melayani parkir.

Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen


Tulisan ini telah dimuat di Sub Rubrik Lincak Harian SOLOPOS
Minggu, 31 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar