Tulisan ini telah dimuat di sub rubrik Lincak Solopos
Sejumlah wilayah di
Indonesia semakin tidak bisa lepas dari siklus tahunan, banjir! Dan semakin
banyak warga masyarakat menderita karenanya. Walau konon pemerintah pusat dan
daerah telah mengantisipasi dengan berbagai program penanggulangan, namun
ancaman bencana akibat curah hujan itu bukan makin surut malah terlihat makin mencemaskan.
“Itu akibat kita
sekarang makin melupakan NKRI,” celetuk Kampret.
“Weitssss! “Dewa mabuk”
kita ngelindur. Di negara ini memang orang bebas berpendapat, Pret. Tapi kalau
kamu sedang mabuk ya sebaiknya diam, ketimbang bicara tapi ngawur,” ejek Lik
Karyo menanggapi ucapan Kampret.
“Ada hubungan apa
antara banjir dan NKRI?” lanjut Lik Karyo
“Mau bilang saya mabuk,
silahkan, Lik. Coba lihat dampak otonomi daerah. Pertama, penghayatan semangat
NKRI yang bermakna komitmen membangun wahana sejahtera bersama raib. Kedua,
semangat egosentrisme wilayah makin kental mewarnai pembangunan setiap daerah
kabupaten-kota maupun propinsi. Kondisi itulah yang menjadi biang masalah
banjir tak teratasi” jawab Kampret.
“Terus apa pasal
hubungannya sama banjir?” desak Lik Karyo.
Pasalnya, NKRI selama
ini sebatas dimaknai secara geografis. Padahal amanat NKRI lebih dari itu,
yakni komitmen seluruh elemen bangsa membentuk batas
wilayah tinggal guna mengelola tujuan bersama dalam melepaskan diri dari
jeratan imperialisme dan mencapai hidup sejahtera secara adil dan merata.
Negara bertanggung jawab mewujudkan amanat tersebut. Namun ternyata negara
tidak mampu mengawal amanat itu. Maka yang berkembang kemudian adalah hubungan
antara elitis dan rakyat bukan hubungan sinergis, melainkan hubungan
imperialistik. Realitas hubungan imperialistik itulah yang membuat kita sulit
menemukan kebijakan pemerintah yang benar-benar pro rakyat dan pro lingkungan,
karena memang lebih banyak kebijakan yang bertujuan memperlebar ruang
keserakahan elitis.
Keserakahan elitis hanya
melahirkan kebijakan pembangunan jangka pendek dan berorientasi kepada
kepentingannya sendiri selama menjabat lima tahun. Dengan begitu jangan harap
ada kebijakan pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan jangka
panjang, termasuk penanganan penanggulangan banjir di suatu wilayah. Walau
setiap daerah membuat RTRW, namun kebanyakan hanya sebagai dokumen penghias
kantor, tak pernah dibuka apalagi ditaati. Secara empiris kita sering lihat
pembangunan kawasan, infrastruktur jalan, dan sebagainya yang seringkali tak
memperhatikan sistem drainase kota secara keseluruhan. Arogansi sektoral
menguat lantaran kebijakan pembangunan itu sebatas dimaknai proyek pendulang
finansial, bukan bagian dari menjawab kebutuhan dan atau memecahkan persoalan. Akibatnya
seringkali kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh satu pemimpin tidak
berkesinambungan dengan kebijakan pemimpin sebelumnya. Masing-masing berjalan
menurut kehendaknya sendiri. Itulah mengapa di Indonesia muncul kecenderungan di
mana pembangunan kota semakin maju, ancaman banjir semakin besar. Karena RTRW sebagai
blue print yang di dalamnya terdapat sistem
drainase kota, tidak diperhatikan bahkan cenderung dilanggar.
Kemudian, otonomi
daerah berdampak mengikis penghayatan semangat NKRI. Semangat egosentrisme
wilayah makin kental mewarnai kebijakan pembangunan setiap daerah
kabupaten-kota maupun propinsi. Alhasil kebijakan pembangunan daerah yang satu
dengan daerah yang lain tidak nyambung. Ketidaknyambungan kebijakan pembangunan
antar daerah tersebut termasuk dalam hal penanganan sumber masalah banjir.
Selain buruknya sistem
drainase kota, penyebab utama banjir kebanyakan adalah kondisi sungai yang
tidak mampu lagi menampung volume air curah hujan. Kegagalan penanganan
revitalisasi sungai-sungai besar selama ini lebih disebabkan oleh sulitnya
koordinasi guna membangun sinergi antar daerah DAS. Kesulitan koordinasi
tersebut akar persoalannya tiada lain kebijakan otonomi daerah yang memberi
kewenangan lebih besar kepada kepala daerah dalam mengelola potensi wilayah dan
pembangunan. Dampak yang tidak disadari adalah berkembangnya arogansi sektoral
dan egosentrisme wilayah. Hal itu jelas menyulitkan upaya untuk membawa kepala
daerah-kepala daerah duduk bersama membangun sinergi.
“Maka otda memunculkan
jargon “raja-raja kecil” untuk menggambarkan besarnya kewenangan kepala daerah,
terutama bupati-walikota, yang tidak mudah dikontrol oleh otoritas pemerintahan
pusat,” jelas Kampret.
“Berarti kepala daerah
bebas berjalan sendiri-sendiri?” tanya Lik Karyo.
“Begitulah faktanya,”
tegas Kampret.
“Waduh! Bisa-bisa bukan
hanya Jakarta, Solo atau daerah-daerah lain yang tenggelam, lama-lama Indonesia
juga bisa tenggelam, Pret!” cetus Lik Karyo.
“Maka bersiap-siaplah
belajar berenang, Lik,” jawab kampret sambil berjalan menuju parkiran.
Jlitheng
Suparman
Dalang
Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen
NKRI dewasa ini dipahami sebagai kapling kapling yang diperebutkan para pejabat dan mantan pejabat untuk melestarikan kekuasaan
BalasHapus