Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Senin, 08 Juli 2013

Renungan Tentang "Panitia"

Akibat ulah elitis, elitis di ranah dan di level mana pun, bangsa ini terpaksa harus menyandang penyakit kronis: tak paham lagi berkebudayaan dan berbudaya. Nyaris dari kita semua mempersempit makna kebudayaan dan mendangkalkan eksistensi kebudayaan. Kebudayaan dipersempit artinya sebatas produk-produk lokal yang berhubungan dengan ritual adat dan seni. Lebih parah ketika produk tersebut sebatas diletakkan sebagai komoditas, bukan wahana proses nilai. 

Itulah akar mengapa nyaris semua perhelatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan seni-budaya selalu saja terjadi kesalahan-kesalahan hingga pelecehan-pelecehan, perilaku yang justru berkebalikan dengan makna yang hendak diraih dari penyelenggaraan kegiatan tersebut. Betapa kita terlalu sering menyaksikan keberadaan kelompok yang bernama "PANITIA" yang perilakunya cenderung bertolak belakang dengan makna keberadaannya. Filosofi "Panitia" adalah merupakan sebuah "sistem pelayanan integral" terhadap sebuah "subyek" untuk mencapai maksud dan tujuan diselenggarakannya sebuah kegiatan. Sistem pelayanan integral yang menjadi tugas utama keberadaan panitia ini yang justru cenderung dilupakan. Maka yang berkembang kemudian adalah perilaku arogan dan oportunistik. Ketegasan yang dijalani seringkali tidak mengarah kepada kelancaran dan kenyamanan kegiatan, tetapi lebih mencerminkan perilaku "dumeh", "bermain" dan "menjilat". 

Perilaku buruk kepanitian seperti itu baru saja terpampang jelas di penyelenggaraan Festival Wayang Indonesia (FWI) 2013 di Museum Fatahilah, Kota Tua, Jakarta Barat, 4 - 7 Juli 2013. Sebuah festival wayang bergensi yang diselenggarkan oleh Yayasan Total Indonesia bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pelaksanaannya dipercayakan kepada Senawangi dan Pepadi. Subyek yang semestinya dilayani secara prima oleh panitia FWI adalah "talent" (subyek pelaku kesenian) dan "publik" (subyek pemilik kebudayaan). Karena keduanya merupakan target utama dari kegiatan, bukan pejabat yang seharusnya justru menjadi bagian dari kelompok pelayan. Tapi apa yang terjadi? Publik maupun talent sama-sama diatur-atur secara arogan. Maka tak aneh jika terjadi seorang Heru S Sudjarwo -- tokoh penulis buku pewayangan dan sineas wayang -- (representasi publik) harus diusir dari kursi, Wayang Kampung Sebelah (representasi talent) harus diusir dari hotel tempat menginap. Keduanya sama-sama diusir oleh yang namanya PANITIA. Itukah budi luhur yang diagung-agungkan oleh Festival Wayang Indonesia dengan segenap sistem dan perangkatnya? 

Tak berlebihan bila Kampret curiga, jangan-jangan FWI sama dengan rezim Indonesia sekarang, sebatas ajang proyek perampokan kanan-kiri oleh sebuah oligarki. Walahualam... #Kampret

Sabtu, 22 Juni 2013

TERJEBAK PERANG MODERN






Oleh: Ki Jlitheng Suparman

Rakyat menggonggong, kenaikan harga BBM berlalu. Keputusan pemerintah yang membuat rakyat bawah dipastikan terdera tiga pukulan telak sekaligus: menanggung dampak beban kenaikan harga-harga kebutuhan hidup; di saat yang sama harus menghadapi kebutuhan tahun ajaran baru; dan menghadapi beban kebutuhah datangnya lebaran. Jelas daya ekonomi rakyat akan ngos-ngosan mengejar beban biaya kebutuhan yang meningkat berkali-kali lipat.
“Mengapa pemimpin kita tidak memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat, wong cilik seperti kita, Pret?” keluh Lik Karyo dengan nada lirih nan pasrah.
“Ini bukan masalah peka atau tidak peka, Lik. Pemimpin kita, bangsa dan negara ini, telah terperangkap dalam skenario perang modern,” tanggap Kampret.
“Lho! Apa hubungannya kenaikan harga BBM dengan perang modern?”

Kamis, 13 Juni 2013

"MAWAS DIRI MENAKAR BERANI"

Kerangka cerita anyar Wayang Kampung Sebelah yang segera beredar

Disusun oleh: Ki Jlitheng Suparman





Babak Pemilu
Eyang Sidik Wacono memimpin penghitungan suara pilkades. Mendadak papan tulis untuk mencatat penghitungan suara hilang. Parjo selaku kepala keamanan ditanya tidak tahu. Begitu pun Sodrun ketika ditanya malah salah persepsi merasa dituding sebagai biang hilangnya papan tulis. Usut punya usut, papan tulis itu ternyata disimpan kembali oleh Suto Coro sebagai kepala rumah tangga kelurahan. Ia tidak merasa bersalah menyimpan kembali papan tulis itu karena panitia menggunakan peralatan kantor kelurahan tanpa seijin dia. Terjadi perdebatan sengit antara Suto Coro dan Mbah Sidik yang berakhir dengan kesanggupan Suto Coro meminjamkan papan tulis.

Parjo memberikan hasil penghitungan suara yang sudah dilakukan saat Eyang Sidik Wacono sibuk berurusan dengan papan tulis. Eyang Sidik lantas membacakan hasil penghitungan suara yang menempatkan Somad sebagai pemenang pilkades. Somad diminta menandatangani berita acara penetapan pemenang, sambil secara tersamar Mbah Sidik meminta bonus upaya pemenangan kepada Somad. Parjo mempertanyakan posisi Mbah Sidik yang sebagai panitia ternyata diam-diam berafiliasi kepada salah satu kontestan. Jika ketahuan orang maka niscaya akan menuai masalah. Eyang Sidik sudah siap dengan resiko itu, siapa pun yang memprotes tindakannya akan dilabraknya.

Rabu, 15 Mei 2013

JALAN BUNTU





Solo yang semula dikondangkan sebatas tempat mangkalnya produsen teroris, kini berbalik menjadi sasaran operasi teroris. Jangan-jangan si teroris sebatas ingin meledek opini umum, sekadar ingin berkata: siapa bilang mercon tak bisa meledak di dalam gudang?
Karyo yang tiap malam rajin nongkrong di warung wedangan, kini mengurangi jadwalnya. Setelah teror datang beruntun, lelaki penarik becak itu kemudian hanya sesekali sambang ke warung langganannya. Begitu pun durasinya makin diperpendek.
“Mengapa harus takut, Lik? Toh jelas sasarannya bukan masyarakat seperti kita-kita. Lagian kan sudah ada jaminan dari aparat agar masyarakat tidak perlu cemas?” celetuk Kampret.
“Masalahnya pelor nggak punya mata, Pret” seloroh Lik Karyo. “Sebenarnya saya lebih seneng kalau negara menjamin tak akan pernah lagi ada teroris, ketimbang menjamin perlindungan masyarakat dari ancaman teroris.”

Selasa, 30 April 2013

PANGERAN SAMBERNYAWA, Mawas Diri Menakar Keberanian Menuju Perubahan




Oleh: Jlitheng Suparman

Filsuf Karl Popper menegaskan: sejarah tidak punya arti. Karena fakta masa lalu sebagai fakta masa lalu tidak memiliki arti pada dirinya sendiri, khususnya bagi kita yang hidup di masa sekarang. Fakta itu baru memiliki arti bagi kita kalau kita memutuskan untuk memberinya arti (Dr. Baskara T. Wardaya, SJ, “Bung Karno Menggugat”, 2008:9). Berangkat dari arti atau makna yang kita berikan itulah kita belajar dari fakta masa lalu itu untuk hidup kita di masa kini dan selanjutnya.
Pengertian itu kiranya berlaku pula bagi kita dalam melihat sejarah masa lalu bangsa Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan Pangeran Sambernyawa dan segenap jejak perjuangannya berikut ajaran yang diberikannya. Alur kisah perjuangan Pangeran Sambernyawa hanyalah rangkaian peristiwa fakta masa lalu, ajaran-ajarannya hanyalah susunan kata-kata, bermakna atau tidaknya tergantung pada bagaimana kita memaknai semuanya itu.
Pangeran Sambernyawa, salah satu tokoh raja Jawa itu kiranya sangat menarik untuk diperbincangkan. Pada hematnya gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran yang dicetuskannya relevan dengan problematika kekinian yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Semangat juangnya, gagasan-gagasan cerdasnya, dan ajaran-ajaran bijaknya dapat kita jadikan sumber inspirasi bagaimana kita harus bersikap dan bertindak dalam berupaya lepas dari jeratan krisis multi dimensi melalui target perubahan besar dan mendasar bagi Indonesia.

Jumat, 05 April 2013

Balada Kampung

Yu Blegoh
Ciptaan: Yayat Suheryatna

Tengoklah ke kirimu, tengoklah ke kananmu
Tembok ada di kirmu, tembok ada di kananmu
Aku tetap tak bisa mengerti kenapa orang membeli mercy
Aku pun ingin membeli heli ning parkire neng ngendi

Jemuranku di sini, jemuranmu di situ
WC umumnya di sini, warung makan di situ
Kerja keras membanting tulang tapi hidup tetap malang
Kerja dari pagi hingga petang, tetap terbelit hutang

Tolehlah ke sinimu, tolehlah ke situmu
Kontrakanmu ada di situ, di sinilah sewanku
Pak polisi di situ, maling ada di sini
Rumah kaji di situ, rumah gali di sini

___________

Kupu-Kupu Malam

(Yayat Suheryatna/Sosiawan Leak/Jlitheng Suparman)

Oh, ini kisahnya
Silvy
Kisah sedih orang pinggiran
Terlunta-lunta
Tiada harapan hidup di jalanan

Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Apalah artinya
Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Di mana tempatnya

Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Kau milik siapa
Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Salahnya siapa

Aduh emak aduh bapa
Tolong dengar nasib hamba
Aduh Tuhan, aduh setan
Jangan permainkan takdir beta

Amboi senangnya
Mereka yang menghalalkan
Aduh muaknya
Mereka yang mengharamkan

Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Apalah artinya
Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Di mana tempatnya

Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Kau milik siapa
Kupu-kupu malam, kupu-kupu malam
Salahnya siapa

Aduh emak aduh bapa
Tolong dengar nasib hamba
Aduh Tuhan, aduh setan
Jangan permainkan takdir beta


_________

Parlemen Babu

Bu RT
Ciptaan: Yayat Suheryatna

Kamu seperti babu
Kerja belum genap seminggu
Tapi kamu tak tahu malu
Minta naik gajimu

Kamu sangatlah wagu
Yen sidang kok malah turu
Tapi kamu tak tahu malu
Kompak nglindur setuju

Rakyat tak berdaya
Sedang kamu kaya raya
Hidupmu serba ada
Kami serba tidak ada

Iki sing salah sapa
Sing salah sapa iki
Sapa iki sing salah
Salahe sapa iki

Pemilu

Ciptaan: Yayat Suheryatna
Lurah Somad


Kecapku kecap nomor satu
Partaiku programnya paling jitu
Babas pajak sampai ke anak cucu
Kalian nyesel kalau kagak milih aku

Pohon persik, pohon persik buahnya jambu
Paling asyik, paling asyik nyoblos punyaku
Icik-icik instrumen orkes melayu
Kamu asyik tapi sayang suka menipu

Buah duku, buah duku buah rambutan
Maafkan daku kalau ada kesalahan

Darah tinggi mengkudu itu obatnya
Kamu janji, kamu janji mana buktinya
Makan kerupuk dicolek sambel terasi
Rakyat remuk pejabatnya dapat subsidi

Setiap musim pemilu
Semua rakyat dirayu
Katanya semua harus memilih kamu
Nyatanya janjimu seratus persen palsu

Pemilu kini telah datang lagi
Hati-hati kowe tak titeni
Kalau kaliyan bohong lagi
Kowe tak cekel ....

Aneka Pengamen

Bung Koma Rhamarimari
Ciptaan: Yayat Suheryatna

Stulus hati kau bernyanyi
Dan menari percaya diri
Penontonmu datang dan pergi
Tapi engkau tiada peduli
sainganmu bintang televisi
Kau setia hati nurani

Sore sampai pagi menyanyi menari mencari sesuap nasi
Sebenarnya sama dengan artis ibu kota yang bergengsi
Sore sampai pagi menyanyi menari mencari sesuap nasi
Sebenarnya sama dengan artis ibu kota yang bergengsi

Yang berbeda honorariumnya saja

(suluk/vokal dalang)

Biarlah, katanya yang penting berusaha
Manusia jatahnya beda-beda

Semakmur-makmurnya sebuah negeri
Pasti ada yang tidak makmur
Sekaya-kayanya sebuah negeri
Pasti ada yang tidak kaya
Ada pengamen yang ke luar negeri
Ada juga dalam bis antar kota
Pada bae

Waru-waru dhoyong rama, dhoyong nang pinggir kali
Lunga ngendhong, lunga ngendhong ora bali-bali
Waru dhoyong nang pinggir kali
Lunga ngendhong ora bali-bali

Tarian lenggerku meredam kedukaan
Nyanyian lenggerku...
Menggugah semangat juang warga desaku
Setelah penat sehari kerja di ladang

Sore sampai pagi menyanyi menari mencari sesuap nasi
Sebenarnya sama dengan artis ibu kota yang bergengsi
Sore sampai pagi menyanyi menari mencari sesuap nasi
Sebenarnya sama dengan artis ibu kota yang bergengsi

Pengamen-pengamen ciptaan Tuhan

Minggu, 31 Maret 2013

Politik Transaksional



Canang telah ditabuh menggemakan tahun 2013 sebagai tahun politik. Partai-partai politik begitu bergairah berlomba berstrategi dan bermanuver ancang-ancang meraih kemenangan di pemilu legislatif tahun 2014. Gairah yang paradoks dengan realitas respon masyarakat yang makin skeptis terhadap partai politik.
“Mau tahun politik kek, mau tahun polayam kek, nggak bikin kenyang perut lapar,” sungut Karyo.
“Iya ya, Lik? Tapi partisipasi masyarakat kan penting. Sebab melalui pemilu itu bagaimana corak arah kebijakan negara ke depan ditentukan. Makanya rakyat harus memilih siapa yang dianggap mampu menjadi saluran aspirasi,” tanggap Kampret.
“Memilih itu kalau ada alternatif, Pret,” sergah Lik Karyo.
“Lho. Ada sebelas partai politik gitu kok bilang nggak ada alternatif?” jawab Kampret.
“Hanya sebelas nama partai politik!” tegas Lik Karyo.
Dipikir-pikir benar juga ungkapan Lik Karyo. Ada sebelas partai politik yang menyematkan label ideologis berbeda. Ironisnya kharakternya sama. Perilakunya sama. Orang bilang, semua hanyalah “oligarkhi politik bersenyawa dengan pemburu rente”. Kita memang punya banyak partai politik, tapi bukan wahana perjuangan aspirasi rakyat melainkan sebatas wadah gerombolan-gerombolan orang yang haus kekuasaan dan kekayaan. Masih mendingan beberapa putaran pemilu yang lalu, partai sedikit malu-malu jual formulir. Sekarang sudah parah. Jual formulir secara terbuka bahkan pakai iklan segala.
Apa muara tugas utama partai politik itu sebenarnya? Partai adalah infrastruktur negara yang bertugas kaderisasi pemimpin. Mengacu tugas itu semestinya jelang pemilu partai politik membuka pintu untuk menawarkan kader-kader ideologis unggulannya agar dilihat, dipelajari, dicermati, kemudian dipilih oleh rakyat. Tetapi apa yang sekarang terjadi? Partai politik sibuk membuka pintu bukan untuk menawarkan kader terbaiknya, melainkan membuka pintu untuk menjual formulir kandidasi bagi yang berminat.
Perilaku partai semacam itu semakin menguatkan gejala politik transaksional. Orang begitu mudah masuk menjadi anggota partai dan diusung sebagai calon untuk jabatan politik tertentu tanpa harus berbekal ideologi dan konsep pikiran, cukup hanya berbekal potensi finansial.
“Lihat figur bos media yang barusan menghiasi halaman koran dan layar kaca. Baru semenit di satu partai karena merasa tak cocok lantas begitu mudahnya meloncat ke partai lain dan menduduki posisi penting. Apa yang membuatnya begitu mudah? Kekuatan ideologinya? Kecanggihan konsep-konsep pikirannya?” tanya Lik Karyo.
“Ya saya nggak tahu, Lik,” tanggap Kampret.
Kampret, juga kebanyakan masyarakat yang lain, tidak akan tahu pasti selain hanya bisa meraba-raba. Sebab kebanyakan figur yang menjadi kutu loncat ketika ditanya jawabnya senada: “perbedaan prinsip”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang perbedaan prinsip yang seperti apa.
Mengapa tidak ada penjelasan? Apakah perbedaan pandangan politik kalau memang penting untuk bangsa-negara tabu untuk dibuka? Lantas bagaimana rakyat tahu bahwa orang-orang itu punya konsep pikiran yang layak didukung? Karena memang penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia jauh dari tradisi perang konsep dan pikiran. Partai semestinya menawarkan ideologi dan pikiran untuk diperjuangkan bersama dengan seluruh anggota dan konstituennya guna mencapai cita-cita bersama.
Pasal 1 ayat 1 UU No. 2 tahun 2008, tentang Partai Politik, menyebutkan bahwa Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian partai politik memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan politik bagi rakyat. Merujuk pada undang-undang tentang parpol, terdapat tiga orientasi pendidikan politik. Pertama, meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiga, meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, pada kenyataannya banyak partai politik yang tidak menjalankan fungsinya untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Jangankan pendidikan politik ke rakyat, ke anggota atau kadernya sendiri saja tidak ada sistem dan mekanisme yang merepresentasikan upaya pendidikan politik. Partai kemudian miskin kader unggulan. Maka tak aneh jika jelang pemilu partai bukannya menawarkan kader unggulannya beserta konsep pikiranya, melainkan jual formulir kandidasi.
“Parah! Benar-benar parah! Berarti pemilu mendatang rakyat tidak hanya memilih kucing di dalam karung, tapi memilih kucing dalam karung di tempat gelap. Salah-salah si kucing yang kita pilih mencakar tubuh kita kemudian meloncat minggat tanpa kita ketahui ke mana larinya,” cetus Kampret.

Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen

Sabtu, 30 Maret 2013

Modal Politik



Kegaduhan dan tragedi sosial kian hari makin merebak. Markas polisi dibumi-hanguskan sekelompok prajurit TNI. Pembantaian di lapas oleh sekelompok “siluman” bersenjata. Seorang Kapolsek meregang nyawa dihakimi massa. Tawur antar kampung menelan korban harta dan nyawa sia-sia. Makin hari negara ini serasa kian sesak oleh keliaran-keliaran. Kita serasa hidup di sebuah negeri tanpa tatanan. Hukum dan etika rasanya sudah benar-benar mati di bumi pertiwi yang konon kesohor dengan keutamaan kepribadiannya.
“Saya makin miris, Pret. Apalagi orang kecil seperti kita ini. Kalau terjadi apa-apa lantas kemana harus berlindung?” keluh Lik Karyo.
“Di kuburan, Lik,” jawab Kampret singkat. “Semua ini terjadi gara-gara politik negeri ini dipimpin oleh uang. Kita sudah salah memilih modal politik” lanjutnya kemudian.
Modal politik ada tiga: uang, pisik dan pengetahuan. Mana salah satu yang ada di depan ia akan mengatur dan mengintegrasikan dua yang lainnya. Rezim Orde Baru menempatkan kekuatan pisik untuk mengintegrasikan pengetahuan dan uang. Kharakter politiknya represif. Atas nama kepentingan negara Soeharto selalu menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi setiap masalah yang dianggap berbahaya, terutama bagi kepentingan dirinya sebagai penguasa. Pengetahuan dan uang benar-benar tunduk di bawah moncong senjata. Dunia intelektual ditekan sedemikian rupa agar melayani kepentingan penguasa. Ilmu pengetahuan yang tidak sejalan dengan pikiran dan kepentingan penguasa tidak akan dibiarkan berkembang. Pikiran-pikiran kritis menyangkut semua segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sama sekali tidak diberi ruang. Media massa yang berani kritis akan dibreidel. Seniman, aktivis, penulis atau siapa pun yang berani bertentangan dengan jalan pikiran penguasa bisa-bisa tinggal nama. Demikian pula dunia ekonomi. Monopoli usaha dikuasai kroni-kroninya. Ekonom harus tunduk melayani kepentingannya. Potensi diluar jaringannya tidak dibiarkan berbuat leluasa. Siapa berani berseberangan langsung digebuk.
“Semua harus satu kata, satu suara, satu eka prasetya pancakarsa,” seloroh Kampret.
“Wah. Kamu nyindir P4, Pret?” tanggap Lik Karyo.
“P4 kan memang alat bius massal agar masyarakat Indonesia terbuai indahnya bunyi-bunyian Pancasila. Dengan P4 kita dibius sehingga tidak memperhatikan bahwa pemimpin dan penyelenggara negaranya justru telah mengkhianati Pancasila. Rakyat dikejar-kejar agar Pancasilais, sebaliknya penguasa rezim Orba membuka lebar pintu liberalis,” jelas Kampret.
“Lha terus, di era reformasi ini gimana, Pret?” tanya Lik Karyo Kemudian.
Rezim reformasi ini sudah tidak lagi menggunakan kekuatan pisik sebagai modal politik. Militer sudah dipaksa kembali ke barak. Rezim kini kemudian menempatkan uang sebagai ujung tombak perpolitikan. Semua serba transaksional. Siapa punya uang dia menang. Intelektual tunduk di bawah uang. Aparat negara dan penegak hukum bertekuk lutut di hadapan uang. Aktivis, politisi, agamawan, seniman pun nyaris semuanya tak berkutik berhadapan dengan uang.
“Apalagi orang bodoh dan melarat kayak saya ini, Pret. Seperak sangat berarti. Nggak peduli rampok, maling, bandar togel, atau koruptor, ada seperak-dua perak ya saya coblos. Hehehe…” gurau Lik Karyo.
“Dan nggak sadar kita masyarakat sendirilah yang sesungguhnya telah beternak koruptor. Demokrasi transaksional, politik transaksional hanya beternak koruptor dan kekejaman. Hukum rimba jelas jadi jalan politiknya,” ucap Kampret.
Uang bisa beli senjata. Uang bisa beli pasukan. Siapa merasa terancam atau terbakar dendam bisa dengan mudah menyarangkan peluru ke sasaran. Kasus bayaran, demonstran bayaran, laskar bayaran hingga pembunuh bayaran bukan hal sulit selama ada uang. Ketahuan dan tertangkap? Ah, itu gampang diselesaikan dengan uang.
“Blaik! Kondisi seperti itu kayaknya akan sulit dihentikan. Terus sampai kapan?” gumam Lik Karyo.
Sampai nanti terbentuk lapis sosial baru yang mengusung “the power of knowledge” sebagai asas politik. Pengetahuan adalah penghantar pemahaman baik-buruk dan benar-salah. Penghayatan atas pemahaman adalah yang membentuk kesadaran dan keyakinan. Maka pengetahuan itulah yang harus menggerakkan jiwa dan tubuh manusia Indonesia. Kita bukan bergerak karena uang, juga bukan bergerak karena tekanan pisik, tetapi bergerak benar-benar karena kekuatan pengetahuan.
Kita punya pengetahuan bahwa Pancasila adalah rumusan dasar negara dan ideologi terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia. Namun ketika pengetahuan itu belum menjadi kekuatan dalam jiwa-raga seluruh elemen bangsa kita, maka Pancasila hanya akan menjadi sebatas bunyi-bunyian jauh dari kenyataan, hukum rimba pun berkepanjangan.
“Kata kuncinya, pengetahuan harus mengintegrasikan pisik dan uang. Maka kamu sebagai penarik becak juga harus punya ‘power of knowledge” peraturan lalu lintas agar tidak seenaknya nerabas lampu bang-jo, Lik,” seloroh Kampret seraya beranjak melayani parkir.

Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen

Sekilas Masalah Pertunjukan Wayang


Manusia menciptakan kesenian adalah untuk meraih keindahan sebagai bagian dari upaya menggapai pencerahan. Dari keindahan itu manusia memperoleh penghayatan tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan sebagainya yang kesemuanya itu bermuara kepada kedewasaan, kepekaan, dan kecerdasan jiwani atau batiniah. Maka estetika dan etika merupakan dua aspek yang menjadi ciri penanda salah satu unsur kebudayaan manusia yang disebut kesenian. Estetika adalah ilmu pengetahuan tentang keindahan, etika adalah ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Kedua aspek itulah di dalam dunia seni pedalangan yang secara sederhana dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Namun sebenarnya istilah tontonan dan tuntunan maknanya tidak sama persis dengan estetika dan etika. Tontonan dan tuntunan adalah sebuah konsep pemikiran yang terjemahannya cenderung mendangkalkan makna estetika dan etika. Tontonan lebih bermakna sebagai hiburan, tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman. Hiburan lebih berarti sebagai wahana pencapaian kesenangan, yakni kepuasan atas hasrat inderawi, tidak sampai kepada wilayah jiwani. Sedang tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman yang bersifat normatif dan statis. Maka istilah tontonan dan tuntunan bila tidak disikapi secara hati-hati justru akan menjebak pelaku seni pada kegiatan kreatif yang hanya bersentuhan dengan hasrat inderawi dan penyampaian pesan nomatif secara vulgar. Perilaku kreatif yang demikian sulit rasanya melahirkan bentuk kesenian atau seni pertunjukan yang mampu memberikan daya rangsang penghayatan yang bersifat jiwani atau pencerahan. Sebab tontonan hanya memberi kepuasan inderawi dan sesaat; tuntunan cenderung menyampaikan nilai-nilai secara verbal dan vulgar atau menggurui.
Kesenian yang mampu memberi pencerahan adalah kesenian yang tidak menggurui. Penikmat atau penonton dibiarkan menafsir dan menangkap pesan makna sesuai dengan latar dan kemampuan masing-masing. Seseorang yang berlatar profesi sebagai guru dengan seorang petani niscaya akan memiliki tafsir yang berbeda atas pesan makna yang disampaikan oleh sebuah seni pertunjukan. Maka jaman dulu pagelaran wayang kulit selalu ditutup dengan golekan ‘sajian wayang golek’, yang konon artinya penonton diminta mencari sendiri makna cerita yang digelar oleh dalang semalam suntuk. Dari fenomena golekan tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa seni pertunjukan wayang kulit di masa lalu memang tidak menggurui, tetapi menyampaikan pesan melalui struktur lakonnya.


Kesenjangan Komunikasi
Seiring dengan aspek entertainment yang makin mendominasi seni pertunjukan wayang, unsur-unsur estetik yang membangun struktur kesenian tradisonal tersebut makin kehilangan fungsinya, atau mengalami penyimpangan atas fungsi yang sebenarnya. Memang seni pertunjukan wayang masih banyak dihadiri penonton, muatan pesan-pesan dari berbagai kepentingan dari luar masih dapat tersalurkan, namun pesan nilai yang terkandung dalam cerita atau lakonnya sendiri semakin tidak terpahami oleh penonton. Oleh karena keterbatasan penguasaan bahasa yang dimiliki penonton maka wejangan ‘petuah’ brahmana yang begitu sarat nilai ajaran keutamaan menjadi menguap begitu saja, tidak sempat tertangkap dan tercatat di benak penonton. Penderitaan yang dialami Dewi Sinta karena ulah Rahwana pun tak lagi mampu menyentuh jiwa khalayak pemirsa. Hal itu menunjukkan kepada kita kesenjangan komunikasi yang mulai terjadi membuat eksistensi dan potensi seni pertunjukan wayang (baca: wayang kulit purwa) sebagai kesenian yang menjadi wahana pencerahan makin menurun.
Kesenjangan komunikasi antara penonton dan pertunjukan wayang tanpa disadari telah mulai berlangsng. Artinya bahwa penonton mulai kesulitan menangkap dan mencerna cerita yang dibawakan oleh dalang. Kebanyakan penonton, terutama generasi muda sudah tidak paham terhadap kisah yang dibawakan oleh dalang. Ketidak-pahaman tersebut bukan semata-mata karena faktor kendala bahasa, yang mana masyarakat kita terutama generasi muda makin asing dengan bahasanya sendiri, melainkan juga karena kurangnya bekal pengetahuan tentang latar belakang budaya yang membentuk seni pertunjukan wayang. Kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang lahir berlatar kebudayaan kerajaan. Sementara masyarakat kita telah bergeser ke peradaban modern dengan pola kehidupan industrialis. Perubahan kebudayaan yang sedemikian pesat itu membuat generasi muda kita terputus dengan informasi dan pengetahuan tentang kebudayaan masa lalu.
Seni pertunjukan wayang yang dibesarkan oleh kebudayaan keraton, sudah barang tentu kesenian ini akan banyak bercerita perihal kehidupan keraton. Tokoh-tokoh ceritanya didominasi oleh kaum elit kerajaan (raja, ksatria, brahmana) dan para dewa. Ungkapan-ungkapan dan bahasanya banyak mengacu yang berkembang di keraton. Demikian pula konflik-konflik dan permasalahan yang diangkat lebih banyak berkutat di wilayah konflik dan permasalahan kaum elit keraton. Sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada kisah yang mengangkat persoalan-persoalan kaum kelas bawah. Dengan kata lain kisah cerita yang disajikan oleh seni pertunjukan wayang adalah potret atau gambaran kehidupan masyarakat kerajaan di masa lalu.
Kini masyarakat kita telah berubah. Bentuk pemerintahan kerajaan bergeser ke bentuk pemerintahan republik. Susunan masyarakat telah berubah, demikian pula cara hidup dan berpikir masyarakat sudah berbeda dengan masa lalu. Ketika seni pertunjukan wayang masih bertahan di dunia masa lalu apakah masyarakat sekarang masih bisa mengerti dan menghayati? Kiranya sulit bagi kita untuk memahami apa lagi menghayati sesuatu yang tidak kita mengerti. Dengan demikian jelas bahwa tujuan pencerahan yang diharapkan dari seni pertunjukan wayang nampaknya sulit dicapai.

Revitalisasi Seni Pertunjukan Wayang
Sampai saat ini seni pertunjukan wayang memang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Fakta itu bukan berarti menjadi jaminan bahwa seni pertunjukan wayang akan bertahan selamanya. Kecuali bila secepatnya kita dapat mengantisipasi persoalan-persoalan yang dihadapinya, terutama persoalan kesenjangan komunikasi seperti terurai di atas.
Guna menghantar seni pertunjukan wayang agar dapat mengarungi perjalanan sejarah hingga masa depan diperlukan sebuah usaha revitalisasi. Yakni sebuah usaha yang tidak hanya sebatas menjaganya tetap ada, namun juga bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat yang dimaksud bukan sebatas bermakna kepentingan sesaat, semisal kepentingan politik dan propaganda pihak tertentu, melainkan makna yang lebih besar lagi yakni membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Usaha revitalisasi itu langkah konkritnya seperti apa, kiranya kita semua juga belum tahu pasti. Langkah awal yang terpenting adalah adanya kesadaran dan kemauan untuk secara bersama-sama melakukan proses pembenahan dan perubahan menuju target revitalisasi.
Upaya revitalisasi adalah usaha untuk membuat seni pertunjukan wayang agar hidup dan berdaya guna kembali sesuai dengan fungsi keberadaannya sebagai kesenian. Usaha menuju revitalisasi tersebut pertama-tama harus dipahami tentang hakekat pertunjukan wayang sebagai sebuah kesenian, tentang karakteristik dan perilakunya dalam menjaga keberadaannya. Pemahaman itu dapat kita peroleh dari mempelajari perjalanan sejarahnya.

Seni Pewayangan
Seni pewayangan di kalangan masyarakat umum dipahami sebatas seni pertunjukan wayang. Namun sesungguhnya seni pewayangan sebagai media ekspresi memiliki tiga bentuk ekspresi, yakni ekspresi yang berakar pada tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi rupa. Masing-masing bentuk ekspresi seni pewayangan tersebut masih berkembang hingga saat ini.
Seni pewayangan yang berakar pada tradisi lisan adalah seni pertunjukan wayang seperti yang sering kita tonton hingga saat ini. Di dalam bentuk seni pertunjukan ini pun terdapat beragam bentuk, corak dan gaya, yang dapat disebutkan antara lain: wayang kulit purwa, wayang golek, wayang kulit betawi, wayang kancil, wayang krucil, wayang menak, wayang beber, wayang orang, wayang wahyu, dan lain sebagainya. Masing-masing jenis pertunjukan wayang tersebut menunjukkan perbedaan pada bentuk boneka, bahan yang digunakan untuk boneka, sumber cerita, maupun ciri kedaerahan. Seperti misalnya wayang kulit purwa bentuk bonekanya pipih dua dimensi terbuat dari bahan kulit, sumber cerita mengambil dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Tengah dan Jawa timur. Kemudian wayang golek Sunda bentuk bonekanya tiga dimensi terbuat dari bahan kayu, sumber cerita dari dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Barat, dan sebagainya.
Seni pewayangan yang berakar pada tradisi tulis adalah berbentuk sastra wayang. Di era Jawa Kuno sastra wayang ini sudah berkembang, biasanya berbentuk kakawin (puisi Jawa Kuno), seperti misalnya karya para empu di Jawa: Kakawin Bharatayudda, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Ramayana, dan sebagainya. Di jaman kerajaan pasca era Jawa Kuno, sastra wayang pun tetap berkembang dan melahirkan banyak tulisan karya para pujangga, seperti Serat Kandha, Serat Pustakaraja Purwa, dan lain sebagai yang jumlahnya ratusan. Kemudian setelah Indonesia merdeka sastra wayang juga tetap berkembang, bahkan tidak sebatas monopoli bahasa Jawa, tetapi banyak yang ditulis ke dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Inggris, seperti misalnya novel wayang “Hamba Sebut Paduka Ramadewa” oleh Herman Pratikto, “Anak Bajang Menggiring Angin” oleh Sindhunata, “Wisanggeni Sang Buronan” oleh Seno Gumira Ajidarma, dan lain sebagainya.
Kemudian seni pewayangan yang berakar pada tradisi rupa adalah berbentuk lukisan, relief dan patung-patung wayang. Cerita-cerita wayang banyak memberi inspirasi kepada seniman perupa sehingga terlahir banyak karya lukisan, relief dan patung wayang seperti yang sering kita temui di berbagai tempat.
Seni pertunjukan wayang adalah media ekspresi yang didalamnya terdapat beragam unsur seni yang lengkap, yakni: seni sastra, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni rupa. Di samping secara struktur pertunjukannya merangkum berbagai unsur seni, dalam kisah yang di bawakannya banyak mengandung nilai-nilai ajaran moralitas, budi pekerti, maupun filsafat yang kesemuanya menawarkan nilai-nilai keluhuran. Maka tidak heran bila seni pertunjukan wayang kemudian diberi label sebagai kesenian yang adi luhung.


Tugas dan Fungsi Dalang
Seni pedalangan pada dasarnya berakar dari tradisi tutur, yakni tradisi penyampaian pesan secara lisan. Menurut hasil penelitian para sarjana, jauh sebelum seni pedalangan terbentuk, sekian puluh abad yang lalu di Jawa terdapat tukang dongeng yang disebut Saman. Fenomena Saman ini muncul ketika orang Jawa belum mengenal tulisan atau tradisi tulis. Tugas seorang Saman adalah mendongeng tentang roh-roh leluhur sebagai bagian dari kegiatan upacara ritual keagamaan. Untuk menggambarkan secara visual roh-roh leluhur tersebut Saman membuat benda yang ketika disinari api memunculkan bayang-bayang. Dari fenomena permainan bayang-bayang inilah diperkirakan sebagai awal mula muncul istilah “wayang” yang berarti bayang-bayang.
Setelah tradisi tulis muncul dan berkembang, mulailah bermunculan pustaka-pustaka hasil karya para pujangga kerajaan yang memperkaya sumber cerita masyarakat. Dalam perkembangannya, di samping Saman, muncul lagi pendongeng yang mengangkat cerita yang bersumber dari pustaka-pustaka karya para pujangga. Pendongeng tersebut disebut sebagai Wiracarita. Baik Saman maupun Wiracarita, di dalam mendongeng melengkapi diri dengan alat bantu peraga yang kemudian disebut sebagai wayang. Entah mulai kapan, lama kelamaan sebutan Saman dan Wiracarita tersebut hilang, pendongeng yang menggunakan alat bantu peraga berupa wayang berganti sebutan sebagai “Dalang”.
Dari ilustrasi singkat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa hakekat dalang adalah sebagai pendongeng. Ia menyampaikan kisah dengan dibantu dengan alat peraga wayang dan iringan bunyi-bunyian (gamelan) untuk mendukung kisah yang diceritakannya agar menjadi lebih menarik. Dengan maksud untuk meraih perhatian dan antusiasme audien atau penonton terhadap cerita dalang secara lebih besar. Besarnya perhatian dan antusiasme tersebut merupakan pintu bagi masuknya pesan-pesan nilai yang terkandung dalam cerita.
Bila kita kembalikan pada perkembangan seni pertunjukan wayang pada umumnya di masa sekarang, potensi dalang sebagai pendongeng memang semakin luntur. Posisi unsur cerita atau lakon sebagai panglima dari struktur pertunjukan wayang menjadi terbalik. Eksplorasi atau penggarapan alat peraga (wayang) maupun iringan (gamelan) lebih mendominasi sehingga melemahkan unsur cerita atau lakon yang seharusnya diperkuat oleh kedua unsur tersebut. Seloroh bahwa dalang sekarang tak lebih sekadar sebagai MC, kiranya dimaksudkan untuk mengkritisi memudarnya hakekat peran dalang sebagai pendongeng, Saman, atau Wiracarita. Dalang dinilai tidak lagi memproyeksikan diri sebagai pendongeng namun sebatas sebagai pemegang kendali pertunjukan. Dalang tidak lagi mengidupkan wayang melainkan menghidupkan pertunjukan. Keberadaan panggungan, yakni ruang layar selebar tangan dalang merentang sebagai pusat pertunjukan, menjadi hilang tertelan oleh panggung (stage) yang mejadi ajang aktivitas dalang, pengrawit dan pesinden. Figur wayang yang rata-rata setinggi 40 sampai dengan 90 centimeter menjadi kabur oleh kemilau logam perunggu, rampaknya kostum pengrawit, dan indahnya tata rias pesindhen. Maka kesentosaan sosok Bima, kelicikan Patih Sengkuni, dan kekonyolan Buta Cakil tidak lagi dikenali penonton, yang membekas dibenak mereka adalah kesohoran nama dalang dan pesinden. Malang bagi pengrawit yang secara individu jarang tersebut namanya…
Istilahnya begitu sederhana: pendongeng! Namun untuk menjadi dalang yang pendongeng memang tidak mudah, terlebih di era percepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak besar pada perubahan masyarakat dewasa ini. Seorang dalang dituntut tidak hanya menguasai estetika pedalangan namun juga harus memiliki keluasaan wawasan ilmu pengetahuan berbagai bidang, seperti hukum, politik, filsafat, ekonomi, pendidikan, kesusasteraan, ketatanegaraan dan sebagainya agar setiap sajian yang ditampilkan relevan dengan kehidupan kekinian. Dengan demikian apa yang disajikan akan benar-benar disimak oleh penonton karena bersinggungan dengan problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.
Paling tidak ada tiga fungsi sosial dalam menyajikan wayang yaitu; (1) sebagai komunikator, sang dalang berfungsi menyampaikan pesan-pesan pembangunan lewat pakeliran dengan cara mengolah pesan tersebut ke dalam bahasa pedalangan tanpa mengurangi mutu penyajiannya. Misalnya dalam penyampaian pesan keluarga berencana atau lingkungan hidup harus ditempatkan pada adegan yang cocok serta empan papan, bias ditempatkan pada adegan perang ampyak atau gara-gara; (2) sebagai innovator, dalam hal ini seorang dalang harus dapat menempatkan diri pada suatu posisi yang tidak memihak kepada salah satu norma tertentu, melainkan harus berorientasi ke masa depan sehingga karya-karyanya relevan dengan zaman sekarang, serta dapat menjadi motivasi timbulnya proses perubahan sosial; (3) sebagai emansipator, artinya seniman dalang membantu mengantarkan para penonton secara kelompok atau individual ke tingkat perkembangan kepribadian yang lebih tinggi dengan cara peningkatan daya apresiatif, kepekaan rasa yang pada gilirannya akan memperkaya pengalaman jiwanya selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku dan perubahan sikap (Soetarno, 1987:3).
Dengan demikian setiap sajian wayang kulit diharapkan menjadi wahana pencapaian pengalaman estetis, disamping tujuan-tujuan lain seperti hiburan, propaganda dan sebagainya. Suatu pengalaman estetis tidak berarti harus indah tetapi juga berarti mengerikan, memuakkan, menegangkan, menakutkan, mengharukan dan sebagainya.
Salah satu tugas utama dalang sebagai seniman adalah menghantar pesan melalui pertunjukan wayang. Pesan itulah yang ketika ditangkap dan dicerna kemudian akan mempengaruhi perilaku manusia. Oleh karena itu seorang dalang selain sebagai agen pencerahan juga dapat disebut sebagai agen perubahan. Dalang sebagai seniman sepantasnya berjiwa revolusioner dan visioner. Untuk itu dalang dituntut memiliki keluasan wawasan pengetahuan dan cakrawala pandang yang lebih dari pada manusia rata-rata.
Persyaratan seorang dalang menurut tradisi kraton Surakarta seperti termuat dalam tembang Mijil sebagai berikut.
Wus jamake jeneng dalang yekti, kudu wruh lelakon, ora amung lelucone wae, sabet crita tutuk tur gendhingi, yen isine sepi, sepen sepa samun” (Soetarno 1989:4)

“Seorang dalang sejati harus memahami lakon (cerita) yang ditampilkan tidak hanya humornya saja, tetapi juga menguasai gerak wayang, dialog tokoh wayang, serta musik (karawitan) namun jikalau isinya tidak ada maka pakelirannya terasa hambar”.
Dengan demikian isi pesan atau sesuatu yang disampaikan oleh dalang dalam pertunjukan wayang adalah sangat penting. Isi pesan yang disampaikan dapat melalui prabot atau sarana sabet (gerak wayang), catur (dialog), narasi serta lakon (alur ceritera).
Namun pada perkembangannya sekarang hampir di setiap pertunjukan wayang kulit terutama, semakin miskin pesan. Seniman dalang pada umumnya larut terhadap keinginan penonton yang mengumbar selera ramai, gobyok, humor yang berbau porno, lagu pilihan pendengar, sabet yang akrobatik dan sebagainya. Orientasi kepentingan materialistik dalang cenderung mengorbankan kualitas pakeliran. Hidup memang perlu uang. Namun demikian seyogyanya kepentingan ekonomis jangan sampai mengorbankan nilai-nilai etik dan estetik seni pertunjukan wayang.
Dalang sejati akan selau menyajikan pertunjukan yang sarat pesan nilai: spiritual, moral, kemanusiaan, patriotisme, keadilan, pengabdian, kesetiakawanan dan sebagainya yang kesemuanya tersalur melalui struktur pertunjukan yang ada. Kepekaan rasa dan ketajaman mata dalang terhadap masalah yang berkembang di masyarakat berpadau dengan kepiawaiannya mentransfer melalui struktur pertunjukan yang ada akan benar-benar mampu membawa pertunjukan wayang sebagai media pencerahan.
Seni pedalangan memiliki banyak teori yang berkaitan dengan aspek dramatisasi. Dramatisasi merupakan gerbang utama bagi tersalurnya pesan cerita kepada penonton. Unsur-unsur yang membangun aspek dramatisasi dalam seni pedalangan, antara lain: regu seorang dalang dapat menyajikan suasana yang wibawa, mrabu yakni agung atau luhur misalnya dalam adegan jejer; greget, dapat menimbulkan suasana tegang, yang dapat mempengaruhi penonton; semu, dalam adegan tertentu seorang dalang dapat menampilkan suasana yang romantik, rasa asmara khususnya dalam adegan percintaan. Nges, seorang dalang harus mampu menimbulkan rasa sedih, haru dan memukau penonton; renggep, dalam penampilannya suasana pakeliran tetap hidup bersemangat tidak kendor, serta antara adegan yang satu dengan adegan yang lain merupakan kesatuan yang utuh dan ada kaitannya; cucut, seorang dalang dapat membuat humor yang sehat; unggah-ungguh, seorang dalang dapat menempatkan tatakrama baik dalam penerapan bahasa (janturan, antawecana) sabet (tancepan, perang, gerak wayang/solah] dan sebagainya; tutuk, seorang dalang dapat membeberkan lakon yang disajikan dengan jelas, runtut sehingga penonton dapat terbawa dan terpukau/ dapat menggetarkan jiwa penonton; trampil, artinya seorang dalang harus lincah serta cekatan dalam penguasaan sabet [gerak wayang]; catur, [bahasa, antawecana, janturan]; iringan [suluk, karawitan, keprakan], maupun dalam menggarap lakon [Soetarno 1987:4].
Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek estetik maupun etik yang harus dibawakan oleh dalang sering tidak mampu berjalan karena banyaknya hambatan dari luar. Tekanan faktor eksternal bukanlah hal yang gampang dihadapi dalam rangka menjaga eksistensi dalang sebagai pendongeng. Faktor tekanan dari luar beraneka ragam dan sangat kompleks. Pesan sponsor, trend tuntutan massa penonton, intervensi penanggap, adalah kendala-kendala kasat mata yang sulit terantisipasi.
Budaya materialisme yang makin menguat adalah kendala yang tidak kasat mata namun benar-benar menghantui keimanan para dalang. Kemudian kendala-kendala dari dalam yang berhubungan dengan aspek estetik juga menjadi masalah yang cukup pelik, yang mempersulit dalang untuk dapat kembali menjadi pendongeng. Aspek kebahasaan dan norma estetik yang kuat mengikat merupakan persoalan internal yang sulit diurai oleh dalang  sekarang agar menjadi pendongeng yang komunikatif.
Oleh sebab kompleksitas kendala sebagaimana tersebut di atas maka tidak adil bila usaha agar seni pertunjukan wayang bisa kembali kepada hakekatnya sebagai sumber pencerahan hanya dibebankan di pundak para dalang dan seniman pendukungnya. Sebaliknya fakta persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan wayang tersebut hendaknya menyadarkan para dalang untuk mau terbuka dan bekerja sama dengan pihak lain sehingga beban tugas yang begitu berat tersebut bisa dikerjakan secara bersama-sama.

Peluang Bekerja Sama
Sebenarnya ada pihak-pihak yang menyediakan diri membantu para dalang untuk melakukan proses pencarian dalam rangka menegakkan kembali keberadaan seni pertunjukan wayang sebagai wahana pencerahan. Di lingkungan masyarakat kita banyak terdapat penulis-penulis buku cerita wayang yang dapat diajak bekerja sama untuk menafsir kembali cerita wayang agar kontekstual dengan jamannya. Juga ada individu tokoh mayarakat maupun lembaga-lembaga yang punya perhatian terhadap kehidupan kesenian tradisional, yang bisa diajak bekerja sama membangun ruang dan peluang berekspresi. Sekarang tinggal sejauh mana para dalang mau dan mampu memanfaatkan ruang dan peluang yang ada dan disediakan oleh pihak lain tersebut.

Ki Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen