Solo yang semula
dikondangkan sebatas tempat mangkalnya produsen teroris, kini berbalik menjadi
sasaran operasi teroris. Jangan-jangan si teroris sebatas ingin meledek opini
umum, sekadar ingin berkata: siapa bilang mercon tak bisa meledak di dalam
gudang?
Karyo yang tiap malam rajin
nongkrong di warung wedangan, kini mengurangi jadwalnya. Setelah
teror datang beruntun, lelaki penarik becak itu kemudian hanya sesekali sambang
ke warung langganannya. Begitu pun durasinya makin diperpendek.
“Mengapa harus takut,
Lik? Toh jelas sasarannya bukan masyarakat seperti kita-kita. Lagian kan sudah
ada jaminan dari aparat agar masyarakat tidak perlu cemas?” celetuk Kampret.
“Masalahnya pelor nggak
punya mata, Pret” seloroh Lik Karyo. “Sebenarnya saya lebih seneng kalau negara
menjamin tak akan pernah lagi ada teroris, ketimbang menjamin perlindungan
masyarakat dari ancaman teroris.”
Dijamin semua orang berharap sebagaimana Lik Karyo. Tapi harapan seperti itu kiranya sulit terwujud. Selama kemiskinan dan keterbelakangan belum enyah dari negeri ini kayaknya terorisme sulit untuk dihapus. Teorinya gampang kok, perut lapar dan pikiran dangkal akan lekat dengan tindak kriminal. Agar tindak kriminal semacam premanisme hingga terorisme itu tak tumbuh subur, negara harus menyejahterkan dan mencerdaskan seluruh rakyatnya.
Tapi kita semua dapat
menyaksikan. Berkurangnya kemiskinan hanya berbentuk angka tertera di atas
kertas laporan. Realita berkebalikan. Fakta berkembangnya kemiskinan itu tak
dapat dipungkiri ketika berhadapan dengan realitas bahwa sistem regulasi maupun
perilaku penyelenggara negara dari pusat hingga daerah dalam menjalankan
pembangunan cederung melayani kapital besar. Jelas kesenjangan kaya-miskin
bukannya menyempit, dijamin makin melebar.
“Lihat saja di kota
kita, Pret. Pembangunan di kota Solo memang terlihat maju pesat. Kota kita
makin banyak bangunan megah dan mewah tak kalah dengan kota besar lain di
Indonesia. Tapi pertanyaannya sederhana, bangunan itu milik siapa, untuk siapa
dan menguntungkan siapa? Untuk saya? Untuk kamu? Ada untungnya bagi mbok dhe Mijem bakul pecel itu?”
“Makanya, orang harus
sekolah biar pinter dan sejahtera, Lik. Toh pemerintah juga sudah bikin program
pendidikan gratis,” kata Kampret.
“Gratis? Gratis kok
mahal! Yang dibutuhkan rakyat itu pendidikan murah, bukan sekolah gratis tapi
mahal. Tetap saja sopir becak seperti saya tak mungkin berharap anak saya bisa
jadi dokter, insinyur dan seterusnya.”
Pada hematnya,
pendidikan di Indonesia tidak perlu mahal ketika korupsi, kolusi dan manipulasi
tidak dibiarkan merajalela. Korupsi, kapitalisme, liberalisme adalah akar dari
makin berkembangnya kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia. Atau mungkin
memang ada kesengajaan memelihara kondisi seperti itu agar si miskin dan bodoh tetap
ada untuk dipermainkan?
Kayaknya memang
demikian. Lihat saja begitu mudahnya rakyat digiring dan diarahkan oleh
selembar uang di setiap pemilu apa saja. Lihat saja rakyat diusir, digusur, digeser
nasibnya tanpa bisa melawan mempertahankan hak-hakya. Artinya bahwa rakyat,
warga negara, terutama lapis bawah benar-benar tidak memiliki perlindungan
politik, hukum dan ekonomi dari negara. Menghadapi realitas ketidak-adilan dan
penyimpangan penyelenggaraan negara rakyat tidak mampu berbuat apa-apa. Ke mana
mereka harus mengadukan segenap persoalannya? Tidak ada. Rakyat benar-benar
menghadapi jalan buntu.
Ya! Jalan buntu yang bikin
orang jadi frustrasi, putus asa, apatis, skeptis, emosional, bahkan fatalis. Psikologi
sosial semacam itu dijamin menjadi lahan subur bagi tumbuh-kembangnya konflik
horizontal, premanisme dan terorisme. Terlebih ketika mentalitas politisi kita
cenderung menghalalkan segala cara untuk memuaskan hasrat kekuasaannya. Tak ada
rasa malu menebar kebohongan berbalut pencitraan. Tak ada rasa berdosa bikin
tumbal nyawa manusia untuk bisa berkuasa.
“Padahal mereka juga
beragama ya, Pret..?” gumam Lik Karyo.
“Ya maaf, Lik. Agama di
negeri ini sedang asyik nongkrong di ruang politik identitas. Jadi, ya memang
sudah nasib kita, lahir-batin menghadapi jalan buntu” jawab Kampret.
Jlitheng
Suparman
Dalang
Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen
----------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini telah dimuat di sub rubrik "Lincak" harian SOLOPOS
Sip. Suka mengikuti guneman, atau lebih pas -mungkin-, soliloquia. Semacam rerasan. Semoga makin banyak orang yang siap sedia membangunkan kesadarannya untuk semakin menjadi manusia yang manusiawi. Ngomong-ngomong, foto gelandangan dengan si kecil yang tidur di atasnya sungguh membuat hati saya ciut, ingin berbuat sesuatu. Tapi ya itu tadi, saya termasuk gerombolan yang ternyata lebih banyak ngomong daripada tandang gawe. Ahh ...
BalasHapusSemangat terus Ki Dhalang ... Salam saking Mertoyudan.