Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Rabu, 15 Mei 2013

JALAN BUNTU





Solo yang semula dikondangkan sebatas tempat mangkalnya produsen teroris, kini berbalik menjadi sasaran operasi teroris. Jangan-jangan si teroris sebatas ingin meledek opini umum, sekadar ingin berkata: siapa bilang mercon tak bisa meledak di dalam gudang?
Karyo yang tiap malam rajin nongkrong di warung wedangan, kini mengurangi jadwalnya. Setelah teror datang beruntun, lelaki penarik becak itu kemudian hanya sesekali sambang ke warung langganannya. Begitu pun durasinya makin diperpendek.
“Mengapa harus takut, Lik? Toh jelas sasarannya bukan masyarakat seperti kita-kita. Lagian kan sudah ada jaminan dari aparat agar masyarakat tidak perlu cemas?” celetuk Kampret.
“Masalahnya pelor nggak punya mata, Pret” seloroh Lik Karyo. “Sebenarnya saya lebih seneng kalau negara menjamin tak akan pernah lagi ada teroris, ketimbang menjamin perlindungan masyarakat dari ancaman teroris.”

Dijamin semua orang berharap sebagaimana Lik Karyo. Tapi harapan seperti itu kiranya sulit terwujud. Selama kemiskinan dan keterbelakangan belum enyah dari negeri ini kayaknya terorisme sulit untuk dihapus. Teorinya gampang kok, perut lapar dan pikiran dangkal akan lekat dengan tindak kriminal. Agar tindak kriminal semacam premanisme hingga terorisme itu tak tumbuh subur, negara harus menyejahterkan dan mencerdaskan seluruh rakyatnya.
Tapi kita semua dapat menyaksikan. Berkurangnya kemiskinan hanya berbentuk angka tertera di atas kertas laporan. Realita berkebalikan. Fakta berkembangnya kemiskinan itu tak dapat dipungkiri ketika berhadapan dengan realitas bahwa sistem regulasi maupun perilaku penyelenggara negara dari pusat hingga daerah dalam menjalankan pembangunan cederung melayani kapital besar. Jelas kesenjangan kaya-miskin bukannya menyempit, dijamin makin melebar.
“Lihat saja di kota kita, Pret. Pembangunan di kota Solo memang terlihat maju pesat. Kota kita makin banyak bangunan megah dan mewah tak kalah dengan kota besar lain di Indonesia. Tapi pertanyaannya sederhana, bangunan itu milik siapa, untuk siapa dan menguntungkan siapa? Untuk saya? Untuk kamu? Ada untungnya bagi mbok dhe Mijem bakul pecel itu?”
“Makanya, orang harus sekolah biar pinter dan sejahtera, Lik. Toh pemerintah juga sudah bikin program pendidikan gratis,” kata Kampret.
“Gratis? Gratis kok mahal! Yang dibutuhkan rakyat itu pendidikan murah, bukan sekolah gratis tapi mahal. Tetap saja sopir becak seperti saya tak mungkin berharap anak saya bisa jadi dokter, insinyur dan seterusnya.”
Pada hematnya, pendidikan di Indonesia tidak perlu mahal ketika korupsi, kolusi dan manipulasi tidak dibiarkan merajalela. Korupsi, kapitalisme, liberalisme adalah akar dari makin berkembangnya kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia. Atau mungkin memang ada kesengajaan memelihara kondisi seperti itu agar si miskin dan bodoh tetap ada untuk dipermainkan?
Kayaknya memang demikian. Lihat saja begitu mudahnya rakyat digiring dan diarahkan oleh selembar uang di setiap pemilu apa saja. Lihat saja rakyat diusir, digusur, digeser nasibnya tanpa bisa melawan mempertahankan hak-hakya. Artinya bahwa rakyat, warga negara, terutama lapis bawah benar-benar tidak memiliki perlindungan politik, hukum dan ekonomi dari negara. Menghadapi realitas ketidak-adilan dan penyimpangan penyelenggaraan negara rakyat tidak mampu berbuat apa-apa. Ke mana mereka harus mengadukan segenap persoalannya? Tidak ada. Rakyat benar-benar menghadapi jalan buntu.
Ya! Jalan buntu yang bikin orang jadi frustrasi, putus asa, apatis, skeptis, emosional, bahkan fatalis. Psikologi sosial semacam itu dijamin menjadi lahan subur bagi tumbuh-kembangnya konflik horizontal, premanisme dan terorisme. Terlebih ketika mentalitas politisi kita cenderung menghalalkan segala cara untuk memuaskan hasrat kekuasaannya. Tak ada rasa malu menebar kebohongan berbalut pencitraan. Tak ada rasa berdosa bikin tumbal nyawa manusia untuk bisa berkuasa.
“Padahal mereka juga beragama ya, Pret..?” gumam Lik Karyo.
“Ya maaf, Lik. Agama di negeri ini sedang asyik nongkrong di ruang politik identitas. Jadi, ya memang sudah nasib kita, lahir-batin menghadapi jalan buntu” jawab Kampret.

Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen
 ----------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini telah dimuat di sub rubrik "Lincak" harian SOLOPOS

1 komentar:

  1. Sip. Suka mengikuti guneman, atau lebih pas -mungkin-, soliloquia. Semacam rerasan. Semoga makin banyak orang yang siap sedia membangunkan kesadarannya untuk semakin menjadi manusia yang manusiawi. Ngomong-ngomong, foto gelandangan dengan si kecil yang tidur di atasnya sungguh membuat hati saya ciut, ingin berbuat sesuatu. Tapi ya itu tadi, saya termasuk gerombolan yang ternyata lebih banyak ngomong daripada tandang gawe. Ahh ...
    Semangat terus Ki Dhalang ... Salam saking Mertoyudan.

    BalasHapus