Oleh:
Jlitheng Suparman
Filsuf Karl Popper
menegaskan: sejarah tidak punya arti. Karena fakta masa lalu sebagai fakta masa
lalu tidak memiliki arti pada dirinya sendiri, khususnya bagi kita yang hidup
di masa sekarang. Fakta itu baru memiliki arti bagi kita kalau kita memutuskan
untuk memberinya arti (Dr. Baskara T. Wardaya, SJ, “Bung Karno Menggugat”,
2008:9). Berangkat dari arti atau makna yang kita berikan itulah kita belajar
dari fakta masa lalu itu untuk hidup kita di masa kini dan selanjutnya.
Pengertian itu kiranya
berlaku pula bagi kita dalam melihat sejarah masa lalu bangsa Indonesia,
termasuk yang berkaitan dengan Pangeran Sambernyawa dan segenap jejak
perjuangannya berikut ajaran yang diberikannya. Alur kisah perjuangan Pangeran
Sambernyawa hanyalah rangkaian peristiwa fakta masa lalu, ajaran-ajarannya
hanyalah susunan kata-kata, bermakna atau tidaknya tergantung pada bagaimana
kita memaknai semuanya itu.
Pangeran Sambernyawa,
salah satu tokoh raja Jawa itu kiranya sangat menarik untuk diperbincangkan. Pada
hematnya gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran yang dicetuskannya relevan dengan
problematika kekinian yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Semangat juangnya,
gagasan-gagasan cerdasnya, dan ajaran-ajaran bijaknya dapat kita jadikan sumber
inspirasi bagaimana kita harus bersikap dan bertindak dalam berupaya lepas dari
jeratan krisis multi dimensi melalui target perubahan besar dan mendasar bagi
Indonesia.
Pangeran
Sambernyawa
Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden
Mas Sahid lahir di Keraton Kartasura, 7 April
1725 , meninggal
di Surakarta,
28 Desember
1795 pada usia 70 tahun,
mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun
1983. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC,
karena di dalam peperangan R.M. Sahid selalu membawa kematian bagi
musuh-musuhnya. Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang
terkenal dengan julukannya "Matah Ati".
Dimasa kecilnya R.M. Sahid mengalami penderitaan hidup yang berat.
Ketika berusia 3 tahun beliu kehilangan ibu karena pulang ke rahmatullah. Tahun
berikutnya ditinggalkan oleh ayahnya yang atas perintah Pakubuwuno II di
Kartasura disingkirkan dari ibu kota kerajaan Mataram ke Betawi, dan 3 tahun
kemudian di-kendhang-kan (diasingkan)
ke Kaaspstad, Afrika Selatan, hingga akhir hayatnya.
R.M. Sahid mulai terlibat perjuangan pisik pada usia 19
tahun. Ia bergabung dengan R.M. Garendi (Sunan Kuning) yang memimpin
pemberontakan laskar Tionghoa terhadap Kerajaan Kartasura di bawah kekuasaan
Pakubuwono II, 30 Juni 1742. Peristiwa pemberontakan yang populer disebut geger Pecinan tersebut berawal dari
pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. RM Sahid berperang
sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram
(Kartasura) dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa
melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun
melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari
1755, sebagai rekayasa Belanda
yang membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta
dan Yogyakarta,
merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Sahid karena dinilai memecah
belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan tiga
musuh sekaligus, yakni kekuasaan Pakubuwono
III, Hamengkubuwono I (yaitu Pangeran Mangkubumi, paman
sekaligus mertua yang dianggapnya berkhianat dan diangkat menjadi raja oleh
VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun,
pasukan Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Belanda yang merasa kewalahan menghadapi pasukan Pangeran
Sambernyawa kemudian meminta Pakubuwono III untuk melakukan perdamaian.
Perjanjian damai antara Pakubowono III dan Pangeran Sambernyawa diformalkan
dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Inti perjanjian disepakati bahwa R.M.
Sahid diberi kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri/otonom,
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Wilayah
kekuasaannya meliputi Keduwang, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul,
Pajang
sebelah utara dan Kedu.
Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4
Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang
dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.
Spirit dan Mental
Perjuangan melawan kekuasaan memang berat, termasuk
perjuangan Pangeran Sambernyawa. Besarnya kekuatan Mataram dan VOC dalam hitungan
rasional jelas bukan lawan Raden Mas Sahid. Namun fakta berbicara lain. Pendiri
Kadipaten Mangkunegaran itu mampu membuktikan bahwa besarnya kekuatan lawan
yang mestinya bukan tandingannya itu mampu dikalahkan, sekurang-kurangnya mampu
dibuat kewalahan. Pertanyaanya, apa yang membuat Pangeran Sambernyawa mampu
melampaui keterbatasan bekal pisik-materialnya sehingga mampu meraih kejayaan? Kisah
perjuangan Pangeran Sambernyawa seakan memberitahukan bahwa keberhasilan
perjuangan tidak semata-mata ditentukan oleh bekal pisik-material. Spirit dan
mental adalah modal utama sebuah perjuangan. Spirit dan mental adalah wilayah
jiwani sebagai pondasi yang menentukan kokoh-rapuhnya perjuangan.
Dalam buku “Babad Panambangan” yang pada alih aksaranya
diubah judulnya menjadi “Babad KGPAA Mangkunegara I”, terungkap bahwa awal
pergerakannya dimulai sejak keluar dari Keraton Kartasura menuju ke Desa
Nglaroh. Kala itu R.M. Sahid alias R.M. Suryokusumo hanya diikuti oleh 18
orang. Beberapa waktu kemudian menyusul lagi 6 orang, sehingga jumlah
pengikutnya menjadi 24 orang. Orang-orang itulah yang nantinya menjadi pasukan
inti Pangeran Sambernyawa sepanjang menjalani perang gerilya.
Siapa sebenarnya ke-24 orang itu? Kebanyakan dari mereka
adalah putera-putera para adipati bawahan Pakubuwono II sendiri yang tewas
menjadi korban ketidak-adilan penguasa Kartasura tersebut. Sebagian besar dari
mereka adalah teman sepermainan R.M. Sahid dan mereka hanya pemuda biasa. Ketika
kemudian mereka tumbuh menjadi pasukan handal tiada lain karena gemblengan mantal
dan pisik dari R.M. Sahid. Mereka disatukan dan digerakkan oleh spirit dan
prinsip perjuangan yang ditanamkan oleh sosok pemuda yang nantinya terkenal
dengan sebutan Pangeran Sambernyawa itu.
“Tiji-tibeh, mati siji
mati kabeh, mukti siji mukti kabeh” (mati satu mati semua, mulia satu mulia
semua) semboyan yang selalu ditanamkan oleh R.M. Sahid di tubuh pengikutnya.
Ketika ada satu anggota yang tewas, yang lain harus membela hingga titik darah
penghabisan. Ketika nanti meraih keberhasilan berbuah kemuliaan, tidak hanya
satu orang yang menikmati tetapi semua harus merasakan. Sebuah spirit yang
mencerminkan nilai kesatuan rasa senasib sepenanggungan, kesetaraan, dan
kebersamaan.
Semboyan senada yang ditekankan oleh Pangeran Sambernyawa
yakni yang berbunyi: “hanebu sauyun,
kalamun ta keleban banyu tan ana kang pinilih”. Ibarat serumpun pohon tebu,
jikalau tergenangi air tak akan ada yang bisa dipilih, yang tinggi, yang
pendek, yang besar dan yang kecil semuanya akan turut tergenangi. Ungkapan yang
tetap menandaskan semangat kesetaraan, kebersamaan dan senasib sepenanggungan.
Semboyan-semboyan itu menjadi prinsip yang mampu menyatukan
sekaligus menggelorakan semangat juang pengikut Pangeran Sambernyawa. Semboyan-semboyan
itu ketika kita tarik makna yang lebih dalam lagi, tersirat satu pelajaran
bahwa konsolidasi pikiran merupakan dasar perjuangan. R.M. Sahid perlu keluar
dari keraton dan mendirikan markas di Desa Nglaroh tiada lain untuk mencari
ruang konsolidasi pikiran dan menggembleng mental serta pisik sebagi bekal
perjuangan. Di ruang itulah R.M. Sahid mengolah gagasan, menyamakan pandangan
dan tujuan. Ruang di mana konstruksi pemahaman nilai-nilai (ideologi) yang akan
diperjuangkan dibangun dan dii
nternalisasikan.
nternalisasikan.
Kesadaran, semangat dan strategi adalah kunci keberhasilan
perjuangan Pangeran Sambernyawa. Asas perjuangan itu terefleksikan dalam ajaran
yang terkenal dengan sebutan Tri Darma:
Rumangsa melu
handarbeni,
Wajib melu
hangrungkebi,
Mulat sarira
hangrasawani
(Merasa ikut memiliki,
Berkewajiban ikut membela,
Mawas diri berujung keberanian)
Ajaran Tri Darma Pangeran Sambernyawa itu kiranya berangkat
dari sebuah persoalan “mengapa orang merasa harus berjuang?”. Orang berjuang niscaya
berangkat dari suatu alasan. Orang tergerak melakukan perjuangan tentu didorong
oleh suatu alasan. Alasan itulah yang mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah
kesadaran akan masalah. Alasan itu bisa muncul dengan sendirinya (berangkat
dari aktivitas berpikirnya sendiri), bisa pula dimunculkan oleh pihak di luar
dirinya (kesadaran yang muncul oleh rangsangan pikiran orang lain).
Keberadaan alasan itu sendiri juga sebuah persoalan: kita
punya alasan atau tidak untuk memperjuangkan sesuatu? Pangeran Sambernyawa
menyadari bahwa tidak semua orang merasa punya alasan sehingga tergerak untuk ikut
terlibat dalam satu perjuangan. Tapi ia melihat ada satu alasan yang dapat
ditumbuhkan di tubuh setiap orang yakni “rumangsa
melu handarbeni” (merasa ikut memiliki). Terhadap persoalan apa pun,
termasuk persoalan kehormatan, harkat dan martabat bangsa dan negara, orang
cenderung apatis ketika tidak ada kesadaran merasa ikut memiliki. Maka
kesadaran itu perlu dimunculkan dan perlu dipupuk agar menjadi daya dorong yang
menggerakkan diri seseorang untuk melakukan tindakan perjuangan.
Kesadaran muncul dari pengetahuan. Untuk membuka kesadaran
seseorang tentang bela negara maka orang itu perlu tahu, mengerti, paham
tentang kebaikan dan kebenaran yang mesti diterima timbal-balik antara individu
warga negara dan negara. Pengetahuan yang membentuk kesadaran dan kemudian
menjadi daya dorong gerak perjuangan itulah yang di Pergerakan Kebangsaan disebut
sebagai “the power of knowledge”.
Setelah tahap kesadaran merasa ikut memiliki sudah terbangun,
tahap berikutnya adalah membangun kesadaran “wajib melu hangrungkebi” (berkewajiban ikut membela). Di tahap ini ditumbuhkan
kesadaran tentang kewajiban moral atau tanggung jawab moral. Proses
internalisasi atau penghayatan atas nilai-nilai kebaikan dan kebenaran kiranya
menjadi kunci bagi terbentuknya tanggung jawab moral. Internalisasi nilai
adalah kunci agar kewajiban “melu
hangrungkebi” itu muncul sebagai tuntutan dari dalam dirinya sendiri, bukan
tuntutan dari pihak luar dirinya. Dengan proses internalisasi tersebut akan terbangun
struktur kesadaran bahwa hadirnya kebenaran dan kebaikan bagi diri sendiri
adalah berawal dari diri sendiri pula, bukan dari pihak lain. Orang Jawa
bilang: “Sapa nandur bakal ngunduh”,
siapa menanam dia akan menuai. Senada dengan Al Qur’an, Surat Ar Ra’d (13:11) yang
menyatakan “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu
sendiri yang mengubahnya”. Sesungguhnya tidak ada yang lebih mampu menolong
diri kita selain diri kita sendiri. Kiranya satu makna dengan prinsip “self help” yang menjadi asas perjuangan
Pergerakan Kebangsaan.
Orang bergerak menuju pencapaian keinginan, harapan dan cita-cita
dapat dipastikan tidak berangkat dari titik kosong tanpa rencana. Derajat
keberhasilan pencapain tujuan sangat ditentukan oleh kualitas perencanaan. Hal
mendasar dalam menyusun satu rencana, salah satunya adalah mengukur bekal dan kemampuan
kiranya sepadan atau tidak dengan angan yang hendak diraih. Maka Pangeran
Sambernyawa menekankan pentingnya mulat
sarira ‘mawas diri’ agar benar-benar hangrasa
wani ‘yakin dengan keberaniannya’, bukan waton wani ‘asal berani’ yang cenderung berujung kekonyolan
(kegagalan). Sebuah prinsip yang kiranya menjadi penentu kemenangan Pangeran
Sambernyawa di setiap pertempuran. Dalam menentukan hangrasa wani ‘yakin berani’ sudah barang tentu tidak hanya berdasarkan
pertimbangan mengukur potensi diri, tetapi juga menakar potensi lawan. Satu prinsip
dasar menyusun strategi perang.
Ketika kita berkeinginan dan berencana melakukan perubahan
besar dan mendasar bagi Indonesia, mulat
sarira merupakan prasyarat mutlak. Dengan mulat sarira kita dapat memastikan tentang siapa diri kita dan
siapa orang lain yang berhadapan dengan kita. Mengenali diri sendiri bisa
berangkat dari mengenali orang lain. Atau, dengan mengenali orang lain kita
akan dapat mengenali diri sendiri. Dengan mengukur potensi pihak lain, kita
dapat menakar potensi diri sendiri. Maka mulat
sarira dapat dimaknai mawas diri kedalam dan keluar agar ketika kita
memutuskan berani bergerak menempuh perjuangan benar-benar berangkat dari perhitungan
yang matang tentang kekuatan dan kemampuan kita sehingga menjamin keberhasilan.
Merawat Keberhasilan
Pelajaran yang kemudian juga dapat kita petik dari Pangeran
Sambernyawa adalah bahwa “mencapai keberhasilan adalah hal utama, merawat
keberhasilan adalah lebih utama”. Pepatah Jawa mengatakan: “gawe luwih gampang katimbang ngopeni”
(membuat lebih mudah ketimbang merawat). Pesan pelajaran itu memang tidak
terungkap secara eksplisit, namun secara implisit dapat kita lihat melalui
rangkaian fakta sejarah yang berhubungan dengan perjalanan eksistensi Kadipaten
Mangkunegaran.
Kharisma Kadipaten Mangkunegaran makin bersinar dari waktu ke
waktu, sekurang-kurangnya hingga kekuasaan Mangkunagara VII. Mangkunagara II
terkenal dengan pemerintahannya yang tidak sebatas makin rasional, juga
ekspansif dan lihai bermain peran di kancah politik berhadapan dengan
Kasunanan, Kasultanan dan VOC. Mangkunagara III mengembangkan sistem
pemerintahan yang lebih sistematik dan lebih mandiri dalam hubungannya dengan
Kasunanan. Mangkunagara IV benar-benar memajukan perekonomian Mangkunegaran
yang bermuara pada kesejahteraan rakyatnya. Mangkunagara IV melakukan terobosan
baru dalam mengembangkan potensi ekonomi kerajaan dengan jurus-jurus pentingnya,
seperti memperkuat industrialisasi pertanian dengan sistem irigasi, pendirian
pabrik gula Tasikmadu pada tahun 1863, dan yang tak kalah penting eksistensinya
di dunia kesusasteraan. Dia tercatat sebagai salah satu pujangga besar Jawa, banyak
judul karya sastra yang lahir dari kreativitasnya, sebagian diantaranya yang
sangat populer adalah “Serat Wedhatama” dan “Serat Tripama”. Mangkunagara V
yang bertahta dalam kurun waktu singkat tak mampu berbuat banyak, bahkan pada
eranya perekonomian Mangkunegaran terancam bangkrut karena tak mampu menghadapi
persaingan di perdagangan dunia, terutama menghadapi produksi gula dari
Brasilia. Mangkunegara VI yang kemudian menyelamatkan perekonomian dan keuangan
Mangkunegaran, ia juga banyak mengubah aturan kerajaan menjadi lebih
demokratis, namun sangat tegas memberantas premanisme. Mangkunegara VII,
dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak
terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional. Ia
sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga
tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI
yang mengundurkan diri tahun 1916. Ia juga turut menjadi tokoh di dalam
organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo
dan penasehat di organisasi pelajar Jong Java.
Pada tahun 1933,
ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche
Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa. Mangkunagara
VIII terpaksa tak mampu berbuat banyak. Baru saja dilantik sudah harus
menghadapi arus perubahan politik yang besar, Mangkunegara VIII kesulitan
memposisikan diri untuk menjaga kedaulatan wilayah karena desakan arus politik
yang mengakibatkan wilayah Surakarta (termasuk Mangkunegaran) digabungkan ke
dalam provinsi
Jawa Tengah
sejak 1950.
Kesuksesan pemegang tahta generasi pasca Pangeran Sambernyawa
dalam membesarkan dinasti Mangkunegaran kiranya tidak berdiri sendiri.
Kesuksesan itu tidak lepas dari pondasi sistem yang sebelumnya telah dibangun
oleh Mangkunagara I. Terlihat semua Adipati pemegang tahta Mangkunegaran
masing-masing berkharakter beda. Namun demikian perbedaan kharakter tersebut
saling menguatkan atau mengisi kelemahan kekuasaan sebelumnya. Pada hematnya
ada benang merah yang mengawal alur dinasti Mangkunegaran dari penguasa satu ke
penguasa berikutnya menjadi berkesinambungan. Benang merah tersebut tiada lain adalah
adanya seperangkat rumusan nilai ideologis yang diletakkan sebagai pondasi
berdirinya Kadipaten Mangkunegaran oleh sang founding father, Pangeran Sambernyawa. Sebaliknya, kesinambungan
eksistensi tersebut juga tidak lepas dari faktor kesetiaan terhadap nilai-nilai
ideologis tersebut pada diri para generasi pemegang tahta kekuasan berikutnya. Nilai
gampang dirumuskan, namun keberadaan dan keberlangsungan implementasi nilai
tersebut tidak bergulir menggelinding begitu saja dengan sendirinya, tetapi niscaya
ada sistem yang mengawalnya. Artinya di sana ada sistem, termasuk di dalamnya proses
kaderisasi, yang menjadi wahana pewarisan ideologi. Sebuah bangunan sistem
sebagai realisasi kesadaran dan tindakan merawat keberhasilan. Sesuatu yang
tidak kita miliki saat ini. Seyogyanya ke depan, hal “merawat keberhasilan”
menjadi pertimbangan bagi kita semua elemen bangsa yang berharap, bepikir dan
berjuang melakukan perubahan besar dan mendasar bagi Indonesia. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar