Kegaduhan dan tragedi
sosial kian hari makin merebak. Markas polisi dibumi-hanguskan sekelompok prajurit
TNI. Pembantaian di lapas oleh sekelompok “siluman” bersenjata. Seorang Kapolsek
meregang nyawa dihakimi massa. Tawur antar kampung menelan korban harta dan
nyawa sia-sia. Makin hari negara ini serasa kian sesak oleh keliaran-keliaran.
Kita serasa hidup di sebuah negeri tanpa tatanan. Hukum dan etika rasanya sudah
benar-benar mati di bumi pertiwi yang konon kesohor dengan keutamaan kepribadiannya.
“Saya makin miris,
Pret. Apalagi orang kecil seperti kita ini. Kalau terjadi apa-apa lantas kemana
harus berlindung?” keluh Lik Karyo.
“Di kuburan, Lik,”
jawab Kampret singkat. “Semua ini terjadi gara-gara politik negeri ini dipimpin
oleh uang. Kita sudah salah memilih modal politik” lanjutnya kemudian.
Modal politik ada tiga:
uang, pisik dan pengetahuan. Mana salah satu yang ada di depan ia akan mengatur
dan mengintegrasikan dua yang lainnya. Rezim Orde Baru menempatkan kekuatan
pisik untuk mengintegrasikan pengetahuan dan uang. Kharakter politiknya
represif. Atas nama kepentingan negara Soeharto selalu menggunakan kekuatan
militer untuk mengatasi setiap masalah yang dianggap berbahaya, terutama bagi
kepentingan dirinya sebagai penguasa. Pengetahuan dan uang benar-benar tunduk
di bawah moncong senjata. Dunia intelektual ditekan sedemikian rupa agar
melayani kepentingan penguasa. Ilmu pengetahuan yang tidak sejalan dengan
pikiran dan kepentingan penguasa tidak akan dibiarkan berkembang. Pikiran-pikiran
kritis menyangkut semua segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sama sekali tidak diberi ruang. Media massa yang berani kritis akan dibreidel.
Seniman, aktivis, penulis atau siapa pun yang berani bertentangan dengan jalan
pikiran penguasa bisa-bisa tinggal nama. Demikian pula dunia ekonomi. Monopoli
usaha dikuasai kroni-kroninya. Ekonom harus tunduk melayani kepentingannya.
Potensi diluar jaringannya tidak dibiarkan berbuat leluasa. Siapa berani
berseberangan langsung digebuk.
“Semua harus satu kata,
satu suara, satu eka prasetya pancakarsa,” seloroh Kampret.
“Wah. Kamu nyindir P4,
Pret?” tanggap Lik Karyo.
“P4 kan memang alat
bius massal agar masyarakat Indonesia terbuai indahnya bunyi-bunyian Pancasila.
Dengan P4 kita dibius sehingga tidak memperhatikan bahwa pemimpin dan
penyelenggara negaranya justru telah mengkhianati Pancasila. Rakyat
dikejar-kejar agar Pancasilais, sebaliknya penguasa rezim Orba membuka lebar
pintu liberalis,” jelas Kampret.
“Lha terus, di era
reformasi ini gimana, Pret?” tanya Lik Karyo Kemudian.
Rezim reformasi ini
sudah tidak lagi menggunakan kekuatan pisik sebagai modal politik. Militer
sudah dipaksa kembali ke barak. Rezim kini kemudian menempatkan uang sebagai
ujung tombak perpolitikan. Semua serba transaksional. Siapa punya uang dia
menang. Intelektual tunduk di bawah uang. Aparat negara dan penegak hukum
bertekuk lutut di hadapan uang. Aktivis, politisi, agamawan, seniman pun nyaris
semuanya tak berkutik berhadapan dengan uang.
“Apalagi orang bodoh
dan melarat kayak saya ini, Pret.
Seperak sangat berarti. Nggak peduli rampok, maling, bandar togel, atau
koruptor, ada seperak-dua perak ya saya coblos. Hehehe…” gurau Lik Karyo.
“Dan nggak sadar kita masyarakat
sendirilah yang sesungguhnya telah beternak koruptor. Demokrasi transaksional,
politik transaksional hanya beternak koruptor dan kekejaman. Hukum rimba jelas jadi
jalan politiknya,” ucap Kampret.
Uang bisa beli senjata.
Uang bisa beli pasukan. Siapa merasa terancam atau terbakar dendam bisa dengan
mudah menyarangkan peluru ke sasaran. Kasus bayaran, demonstran bayaran, laskar
bayaran hingga pembunuh bayaran bukan hal sulit selama ada uang. Ketahuan dan
tertangkap? Ah, itu gampang diselesaikan dengan uang.
“Blaik! Kondisi seperti
itu kayaknya akan sulit dihentikan. Terus sampai kapan?” gumam Lik Karyo.
Sampai nanti terbentuk
lapis sosial baru yang mengusung “the
power of knowledge” sebagai asas politik. Pengetahuan adalah penghantar
pemahaman baik-buruk dan benar-salah. Penghayatan atas pemahaman adalah yang membentuk
kesadaran dan keyakinan. Maka pengetahuan itulah yang harus menggerakkan jiwa
dan tubuh manusia Indonesia. Kita bukan bergerak karena uang, juga bukan bergerak
karena tekanan pisik, tetapi bergerak benar-benar karena kekuatan pengetahuan.
Kita punya pengetahuan
bahwa Pancasila adalah rumusan dasar negara dan ideologi terbaik bagi bangsa
dan negara Indonesia. Namun ketika pengetahuan itu belum menjadi kekuatan dalam
jiwa-raga seluruh elemen bangsa kita, maka Pancasila hanya akan menjadi sebatas
bunyi-bunyian jauh dari kenyataan, hukum rimba pun berkepanjangan.
“Kata kuncinya,
pengetahuan harus mengintegrasikan pisik dan uang. Maka kamu sebagai penarik
becak juga harus punya ‘power of knowledge” peraturan lalu lintas agar tidak
seenaknya nerabas lampu bang-jo, Lik,”
seloroh Kampret seraya beranjak melayani parkir.
Jlitheng
Suparman
Dalang
Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen
Tulisan ini telah dimuat di Sub Rubrik Lincak Harian SOLOPOS
Minggu, 31 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar