Manusia menciptakan
kesenian adalah untuk meraih keindahan sebagai bagian dari upaya menggapai
pencerahan. Dari keindahan itu manusia memperoleh penghayatan tentang kebaikan
dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan sebagainya yang kesemuanya itu
bermuara kepada kedewasaan, kepekaan, dan kecerdasan jiwani atau batiniah. Maka
estetika dan etika merupakan dua aspek yang menjadi ciri penanda salah satu
unsur kebudayaan manusia yang disebut kesenian. Estetika adalah ilmu
pengetahuan tentang keindahan, etika adalah ilmu pengetahuan tentang kebaikan.
Kedua aspek itulah di dalam dunia seni pedalangan yang secara sederhana
dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Namun sebenarnya istilah
tontonan dan tuntunan maknanya tidak sama persis dengan estetika dan etika.
Tontonan dan tuntunan adalah sebuah konsep pemikiran yang terjemahannya cenderung
mendangkalkan makna estetika dan etika. Tontonan lebih bermakna sebagai
hiburan, tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman. Hiburan lebih berarti sebagai
wahana pencapaian kesenangan, yakni kepuasan atas hasrat inderawi, tidak sampai
kepada wilayah jiwani. Sedang tuntunan lebih bermakna sebagai pedoman yang
bersifat normatif dan statis. Maka istilah tontonan dan tuntunan bila tidak
disikapi secara hati-hati justru akan menjebak pelaku seni pada kegiatan
kreatif yang hanya bersentuhan dengan hasrat inderawi dan penyampaian pesan
nomatif secara vulgar. Perilaku kreatif yang demikian sulit rasanya melahirkan bentuk
kesenian atau seni pertunjukan yang mampu memberikan daya rangsang penghayatan
yang bersifat jiwani atau pencerahan. Sebab tontonan hanya memberi kepuasan
inderawi dan sesaat; tuntunan cenderung menyampaikan nilai-nilai secara verbal
dan vulgar atau menggurui.
Kesenian yang mampu
memberi pencerahan adalah kesenian yang tidak menggurui. Penikmat atau penonton
dibiarkan menafsir dan menangkap pesan makna sesuai dengan latar dan kemampuan
masing-masing. Seseorang yang berlatar profesi sebagai guru dengan seorang
petani niscaya akan memiliki tafsir yang berbeda atas pesan makna yang
disampaikan oleh sebuah seni pertunjukan. Maka jaman dulu pagelaran wayang
kulit selalu ditutup dengan golekan
‘sajian wayang golek’, yang konon artinya penonton diminta mencari sendiri
makna cerita yang digelar oleh dalang semalam suntuk. Dari fenomena golekan tersebut memberi pemahaman
kepada kita bahwa seni pertunjukan wayang kulit di masa lalu memang tidak
menggurui, tetapi menyampaikan pesan melalui struktur lakonnya.
Kesenjangan
Komunikasi
Seiring dengan aspek entertainment yang makin mendominasi
seni pertunjukan wayang, unsur-unsur estetik yang membangun struktur kesenian
tradisonal tersebut makin kehilangan fungsinya, atau mengalami penyimpangan
atas fungsi yang sebenarnya. Memang seni pertunjukan wayang masih banyak
dihadiri penonton, muatan pesan-pesan dari berbagai kepentingan dari luar masih
dapat tersalurkan, namun pesan nilai yang terkandung dalam cerita atau lakonnya
sendiri semakin tidak terpahami oleh penonton. Oleh karena keterbatasan
penguasaan bahasa yang dimiliki penonton maka wejangan ‘petuah’ brahmana yang begitu sarat nilai ajaran keutamaan
menjadi menguap begitu saja, tidak sempat tertangkap dan tercatat di benak
penonton. Penderitaan yang dialami Dewi Sinta karena ulah Rahwana pun tak lagi
mampu menyentuh jiwa khalayak pemirsa. Hal itu menunjukkan kepada kita
kesenjangan komunikasi yang mulai terjadi membuat eksistensi dan potensi seni
pertunjukan wayang (baca: wayang kulit purwa) sebagai kesenian yang menjadi
wahana pencerahan makin menurun.
Kesenjangan komunikasi
antara penonton dan pertunjukan wayang tanpa disadari telah mulai berlangsng. Artinya
bahwa penonton mulai kesulitan menangkap dan mencerna cerita yang dibawakan
oleh dalang. Kebanyakan penonton, terutama generasi muda sudah tidak paham
terhadap kisah yang dibawakan oleh dalang. Ketidak-pahaman tersebut bukan
semata-mata karena faktor kendala bahasa, yang mana masyarakat kita terutama
generasi muda makin asing dengan bahasanya sendiri, melainkan juga karena
kurangnya bekal pengetahuan tentang latar belakang budaya yang membentuk seni
pertunjukan wayang. Kita ketahui bahwa seni pertunjukan wayang lahir berlatar
kebudayaan kerajaan. Sementara masyarakat kita telah bergeser ke peradaban
modern dengan pola kehidupan industrialis. Perubahan kebudayaan yang sedemikian
pesat itu membuat generasi muda kita terputus dengan informasi dan pengetahuan
tentang kebudayaan masa lalu.
Seni pertunjukan wayang
yang dibesarkan oleh kebudayaan keraton, sudah barang tentu kesenian ini akan
banyak bercerita perihal kehidupan keraton. Tokoh-tokoh ceritanya didominasi
oleh kaum elit kerajaan (raja, ksatria, brahmana) dan para dewa. Ungkapan-ungkapan
dan bahasanya banyak mengacu yang berkembang di keraton. Demikian pula konflik-konflik
dan permasalahan yang diangkat lebih banyak berkutat di wilayah konflik dan
permasalahan kaum elit keraton. Sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada
kisah yang mengangkat persoalan-persoalan kaum kelas bawah. Dengan kata lain
kisah cerita yang disajikan oleh seni pertunjukan wayang adalah potret atau
gambaran kehidupan masyarakat kerajaan di masa lalu.
Kini masyarakat kita
telah berubah. Bentuk pemerintahan kerajaan bergeser ke bentuk pemerintahan
republik. Susunan masyarakat telah berubah, demikian pula cara hidup dan
berpikir masyarakat sudah berbeda dengan masa lalu. Ketika seni pertunjukan
wayang masih bertahan di dunia masa lalu apakah masyarakat sekarang masih bisa
mengerti dan menghayati? Kiranya sulit bagi kita untuk memahami apa lagi
menghayati sesuatu yang tidak kita mengerti. Dengan demikian jelas bahwa tujuan
pencerahan yang diharapkan dari seni pertunjukan wayang nampaknya sulit
dicapai.
Revitalisasi
Seni Pertunjukan Wayang
Sampai saat ini seni
pertunjukan wayang memang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Fakta itu
bukan berarti menjadi jaminan bahwa seni pertunjukan wayang akan bertahan
selamanya. Kecuali bila secepatnya kita dapat mengantisipasi
persoalan-persoalan yang dihadapinya, terutama persoalan kesenjangan komunikasi
seperti terurai di atas.
Guna menghantar seni
pertunjukan wayang agar dapat mengarungi perjalanan sejarah hingga masa depan
diperlukan sebuah usaha revitalisasi. Yakni sebuah usaha yang tidak hanya
sebatas menjaganya tetap ada, namun juga bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat
yang dimaksud bukan sebatas bermakna kepentingan sesaat, semisal kepentingan
politik dan propaganda pihak tertentu, melainkan makna yang lebih besar lagi
yakni membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Usaha revitalisasi itu langkah
konkritnya seperti apa, kiranya kita semua juga belum tahu pasti. Langkah awal
yang terpenting adalah adanya kesadaran dan kemauan untuk secara bersama-sama
melakukan proses pembenahan dan perubahan menuju target revitalisasi.
Upaya revitalisasi adalah
usaha untuk membuat seni pertunjukan wayang agar hidup dan berdaya guna kembali
sesuai dengan fungsi keberadaannya sebagai kesenian. Usaha menuju revitalisasi
tersebut pertama-tama harus dipahami tentang hakekat pertunjukan wayang sebagai
sebuah kesenian, tentang karakteristik dan perilakunya dalam menjaga
keberadaannya. Pemahaman itu dapat kita peroleh dari mempelajari perjalanan
sejarahnya.
Seni
Pewayangan
Seni pewayangan di
kalangan masyarakat umum dipahami sebatas seni pertunjukan wayang. Namun sesungguhnya
seni pewayangan sebagai media ekspresi memiliki tiga bentuk ekspresi, yakni
ekspresi yang berakar pada tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi rupa.
Masing-masing bentuk ekspresi seni pewayangan tersebut masih berkembang hingga
saat ini.
Seni pewayangan yang
berakar pada tradisi lisan adalah seni pertunjukan wayang seperti yang sering
kita tonton hingga saat ini. Di dalam bentuk seni pertunjukan ini pun terdapat
beragam bentuk, corak dan gaya, yang dapat disebutkan antara lain: wayang kulit
purwa, wayang golek, wayang kulit betawi, wayang kancil, wayang krucil, wayang
menak, wayang beber, wayang orang, wayang wahyu, dan lain sebagainya.
Masing-masing jenis pertunjukan wayang tersebut menunjukkan perbedaan pada
bentuk boneka, bahan yang digunakan untuk boneka, sumber cerita, maupun ciri
kedaerahan. Seperti misalnya wayang kulit purwa bentuk bonekanya pipih dua
dimensi terbuat dari bahan kulit, sumber cerita mengambil dua epos besar
Mahabarata dan Ramayana, berkembang di wilayah Jawa Tengah dan Jawa timur.
Kemudian wayang golek Sunda bentuk bonekanya tiga dimensi terbuat dari bahan
kayu, sumber cerita dari dua epos besar Mahabarata dan Ramayana, berkembang di
wilayah Jawa Barat, dan sebagainya.
Seni pewayangan yang
berakar pada tradisi tulis adalah berbentuk sastra wayang. Di era Jawa Kuno
sastra wayang ini sudah berkembang, biasanya berbentuk kakawin (puisi Jawa
Kuno), seperti misalnya karya para empu di Jawa: Kakawin Bharatayudda, Kakawin
Arjuna Wiwaha, Kakawin Ramayana, dan sebagainya. Di jaman kerajaan pasca era
Jawa Kuno, sastra wayang pun tetap berkembang dan melahirkan banyak tulisan
karya para pujangga, seperti Serat Kandha, Serat Pustakaraja Purwa, dan lain
sebagai yang jumlahnya ratusan. Kemudian setelah Indonesia merdeka sastra
wayang juga tetap berkembang, bahkan tidak sebatas monopoli bahasa Jawa, tetapi
banyak yang ditulis ke dalam bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Inggris,
seperti misalnya novel wayang “Hamba Sebut Paduka Ramadewa” oleh Herman
Pratikto, “Anak Bajang Menggiring Angin” oleh Sindhunata, “Wisanggeni Sang
Buronan” oleh Seno Gumira Ajidarma, dan lain sebagainya.
Kemudian seni
pewayangan yang berakar pada tradisi rupa adalah berbentuk lukisan, relief dan
patung-patung wayang. Cerita-cerita wayang banyak memberi inspirasi kepada
seniman perupa sehingga terlahir banyak karya lukisan, relief dan patung wayang
seperti yang sering kita temui di berbagai tempat.
Seni pertunjukan wayang
adalah media ekspresi yang didalamnya terdapat beragam unsur seni yang lengkap,
yakni: seni sastra, seni musik, seni suara, seni drama, dan seni rupa. Di
samping secara struktur pertunjukannya merangkum berbagai unsur seni, dalam
kisah yang di bawakannya banyak mengandung nilai-nilai ajaran moralitas, budi
pekerti, maupun filsafat yang kesemuanya menawarkan nilai-nilai keluhuran. Maka
tidak heran bila seni pertunjukan wayang kemudian diberi label sebagai kesenian
yang adi luhung.
Tugas
dan Fungsi Dalang
Seni pedalangan pada
dasarnya berakar dari tradisi tutur, yakni tradisi penyampaian pesan secara lisan.
Menurut hasil penelitian para sarjana, jauh sebelum seni pedalangan terbentuk,
sekian puluh abad yang lalu di Jawa terdapat tukang dongeng yang disebut Saman.
Fenomena Saman ini muncul ketika orang Jawa belum mengenal tulisan atau tradisi
tulis. Tugas seorang Saman adalah mendongeng tentang roh-roh leluhur sebagai
bagian dari kegiatan upacara ritual keagamaan. Untuk menggambarkan secara
visual roh-roh leluhur tersebut Saman membuat benda yang ketika disinari api
memunculkan bayang-bayang. Dari fenomena permainan bayang-bayang inilah
diperkirakan sebagai awal mula muncul istilah “wayang” yang berarti
bayang-bayang.
Setelah tradisi tulis
muncul dan berkembang, mulailah bermunculan pustaka-pustaka hasil karya para
pujangga kerajaan yang memperkaya sumber cerita masyarakat. Dalam
perkembangannya, di samping Saman, muncul lagi pendongeng yang mengangkat
cerita yang bersumber dari pustaka-pustaka karya para pujangga. Pendongeng
tersebut disebut sebagai Wiracarita. Baik Saman maupun Wiracarita, di dalam
mendongeng melengkapi diri dengan alat bantu peraga yang kemudian disebut
sebagai wayang. Entah mulai kapan, lama kelamaan sebutan Saman dan Wiracarita
tersebut hilang, pendongeng yang menggunakan alat bantu peraga berupa wayang
berganti sebutan sebagai “Dalang”.
Dari ilustrasi singkat
di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa hakekat dalang adalah sebagai
pendongeng. Ia menyampaikan kisah dengan dibantu dengan alat peraga wayang dan
iringan bunyi-bunyian (gamelan) untuk mendukung kisah yang diceritakannya agar menjadi
lebih menarik. Dengan maksud untuk meraih perhatian dan antusiasme audien atau
penonton terhadap cerita dalang secara lebih besar. Besarnya perhatian dan
antusiasme tersebut merupakan pintu bagi masuknya pesan-pesan nilai yang
terkandung dalam cerita.
Bila kita kembalikan
pada perkembangan seni pertunjukan wayang pada umumnya di masa sekarang,
potensi dalang sebagai pendongeng memang semakin luntur. Posisi unsur cerita
atau lakon sebagai panglima dari struktur pertunjukan wayang menjadi terbalik.
Eksplorasi atau penggarapan alat peraga (wayang) maupun iringan (gamelan) lebih
mendominasi sehingga melemahkan unsur cerita atau lakon yang seharusnya
diperkuat oleh kedua unsur tersebut. Seloroh bahwa dalang sekarang tak lebih
sekadar sebagai MC, kiranya dimaksudkan untuk mengkritisi memudarnya hakekat peran
dalang sebagai pendongeng, Saman, atau Wiracarita. Dalang dinilai tidak lagi
memproyeksikan diri sebagai pendongeng namun sebatas sebagai pemegang kendali
pertunjukan. Dalang tidak lagi mengidupkan wayang melainkan menghidupkan
pertunjukan. Keberadaan panggungan,
yakni ruang layar selebar tangan dalang merentang sebagai pusat pertunjukan,
menjadi hilang tertelan oleh panggung (stage)
yang mejadi ajang aktivitas dalang, pengrawit dan pesinden. Figur wayang yang
rata-rata setinggi 40 sampai dengan 90 centimeter menjadi kabur oleh kemilau logam
perunggu, rampaknya kostum pengrawit, dan indahnya tata rias pesindhen. Maka
kesentosaan sosok Bima, kelicikan Patih Sengkuni, dan kekonyolan Buta Cakil
tidak lagi dikenali penonton, yang membekas dibenak mereka adalah kesohoran
nama dalang dan pesinden. Malang bagi pengrawit yang secara individu jarang
tersebut namanya…
Istilahnya begitu
sederhana: pendongeng! Namun untuk menjadi dalang yang pendongeng memang tidak
mudah, terlebih di era percepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berdampak besar pada perubahan masyarakat dewasa ini. Seorang dalang dituntut
tidak hanya menguasai estetika pedalangan namun juga harus memiliki keluasaan
wawasan ilmu pengetahuan berbagai bidang, seperti hukum, politik, filsafat, ekonomi,
pendidikan, kesusasteraan, ketatanegaraan dan sebagainya agar setiap sajian
yang ditampilkan relevan dengan kehidupan kekinian. Dengan demikian apa yang
disajikan akan benar-benar disimak oleh penonton karena bersinggungan dengan
problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.
Paling tidak ada tiga
fungsi sosial dalam menyajikan wayang yaitu; (1) sebagai komunikator, sang
dalang berfungsi menyampaikan pesan-pesan pembangunan lewat pakeliran dengan
cara mengolah pesan tersebut ke dalam bahasa pedalangan tanpa mengurangi mutu
penyajiannya. Misalnya dalam penyampaian pesan keluarga berencana atau
lingkungan hidup harus ditempatkan pada adegan yang cocok serta empan papan,
bias ditempatkan pada adegan perang ampyak atau gara-gara; (2) sebagai
innovator, dalam hal ini seorang dalang harus dapat menempatkan diri pada suatu
posisi yang tidak memihak kepada salah satu norma tertentu, melainkan harus
berorientasi ke masa depan sehingga karya-karyanya relevan dengan zaman
sekarang, serta dapat menjadi motivasi timbulnya proses perubahan sosial; (3)
sebagai emansipator, artinya seniman dalang membantu mengantarkan para penonton
secara kelompok atau individual ke tingkat perkembangan kepribadian yang lebih
tinggi dengan cara peningkatan daya apresiatif, kepekaan rasa yang pada
gilirannya akan memperkaya pengalaman jiwanya selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku
dan perubahan sikap (Soetarno, 1987:3).
Dengan demikian setiap
sajian wayang kulit diharapkan menjadi wahana pencapaian pengalaman estetis,
disamping tujuan-tujuan lain seperti hiburan, propaganda dan sebagainya. Suatu
pengalaman estetis tidak berarti harus indah tetapi juga berarti mengerikan,
memuakkan, menegangkan, menakutkan, mengharukan dan sebagainya.
Salah satu tugas utama
dalang sebagai seniman adalah menghantar pesan melalui pertunjukan wayang. Pesan
itulah yang ketika ditangkap dan dicerna kemudian akan mempengaruhi perilaku
manusia. Oleh karena itu seorang dalang selain sebagai agen pencerahan juga
dapat disebut sebagai agen perubahan. Dalang sebagai seniman sepantasnya
berjiwa revolusioner dan visioner. Untuk itu dalang dituntut memiliki keluasan
wawasan pengetahuan dan cakrawala pandang yang lebih dari pada manusia
rata-rata.
Persyaratan seorang
dalang menurut tradisi kraton Surakarta seperti termuat dalam tembang Mijil
sebagai berikut.
“Wus jamake jeneng dalang yekti, kudu wruh
lelakon, ora amung lelucone wae, sabet crita tutuk tur gendhingi, yen isine
sepi, sepen sepa samun” (Soetarno 1989:4)
“Seorang dalang sejati harus memahami
lakon (cerita) yang ditampilkan tidak hanya humornya saja, tetapi juga
menguasai gerak wayang, dialog tokoh wayang, serta musik (karawitan) namun
jikalau isinya tidak ada maka pakelirannya terasa hambar”.
Dengan demikian isi pesan
atau sesuatu yang disampaikan oleh dalang dalam pertunjukan wayang adalah
sangat penting. Isi pesan yang disampaikan dapat melalui prabot atau sarana sabet
(gerak wayang), catur (dialog),
narasi serta lakon (alur ceritera).
Namun pada perkembangannya sekarang hampir
di setiap pertunjukan wayang kulit terutama, semakin miskin pesan. Seniman
dalang pada umumnya larut terhadap keinginan penonton yang mengumbar selera
ramai, gobyok, humor yang berbau porno, lagu pilihan pendengar, sabet yang akrobatik
dan sebagainya. Orientasi kepentingan materialistik dalang cenderung
mengorbankan kualitas pakeliran. Hidup memang perlu uang. Namun demikian seyogyanya
kepentingan ekonomis jangan sampai mengorbankan nilai-nilai etik dan estetik
seni pertunjukan wayang.
Dalang sejati akan selau
menyajikan pertunjukan yang sarat pesan nilai: spiritual, moral, kemanusiaan,
patriotisme, keadilan, pengabdian, kesetiakawanan dan sebagainya yang kesemuanya
tersalur melalui struktur pertunjukan yang ada. Kepekaan rasa dan ketajaman mata
dalang terhadap masalah yang berkembang di masyarakat berpadau dengan kepiawaiannya
mentransfer melalui struktur pertunjukan yang ada akan benar-benar mampu membawa
pertunjukan wayang sebagai media pencerahan.
Seni pedalangan
memiliki banyak teori yang berkaitan dengan aspek dramatisasi. Dramatisasi
merupakan gerbang utama bagi tersalurnya pesan cerita kepada penonton. Unsur-unsur
yang membangun aspek dramatisasi dalam seni pedalangan, antara lain: regu seorang dalang dapat menyajikan
suasana yang wibawa, mrabu yakni
agung atau luhur misalnya dalam adegan jejer; greget, dapat menimbulkan suasana tegang, yang dapat mempengaruhi
penonton; semu, dalam adegan tertentu
seorang dalang dapat menampilkan suasana yang romantik, rasa asmara khususnya
dalam adegan percintaan. Nges,
seorang dalang harus mampu menimbulkan rasa sedih, haru dan memukau penonton; renggep, dalam penampilannya suasana
pakeliran tetap hidup bersemangat tidak kendor, serta antara adegan yang satu
dengan adegan yang lain merupakan kesatuan yang utuh dan ada kaitannya; cucut, seorang dalang dapat membuat humor
yang sehat; unggah-ungguh, seorang
dalang dapat menempatkan tatakrama baik dalam penerapan bahasa (janturan, antawecana) sabet (tancepan,
perang, gerak wayang/solah] dan
sebagainya; tutuk, seorang dalang
dapat membeberkan lakon yang disajikan dengan jelas, runtut sehingga penonton
dapat terbawa dan terpukau/ dapat menggetarkan jiwa penonton; trampil, artinya
seorang dalang harus lincah serta cekatan dalam penguasaan sabet [gerak wayang]; catur,
[bahasa, antawecana, janturan]; iringan
[suluk, karawitan, keprakan],
maupun dalam menggarap lakon [Soetarno 1987:4].
Tidak dapat dipungkiri
bahwa aspek estetik maupun etik yang harus dibawakan oleh dalang sering tidak
mampu berjalan karena banyaknya hambatan dari luar. Tekanan faktor eksternal bukanlah
hal yang gampang dihadapi dalam rangka menjaga eksistensi dalang sebagai pendongeng.
Faktor tekanan dari luar beraneka ragam dan sangat kompleks. Pesan sponsor, trend tuntutan massa penonton, intervensi
penanggap, adalah kendala-kendala kasat mata yang sulit terantisipasi.
Budaya materialisme
yang makin menguat adalah kendala yang tidak kasat mata namun benar-benar
menghantui keimanan para dalang. Kemudian kendala-kendala dari dalam yang
berhubungan dengan aspek estetik juga menjadi masalah yang cukup pelik, yang
mempersulit dalang untuk dapat kembali menjadi pendongeng. Aspek kebahasaan dan
norma estetik yang kuat mengikat merupakan persoalan internal yang sulit diurai
oleh dalang sekarang agar menjadi
pendongeng yang komunikatif.
Oleh sebab kompleksitas
kendala sebagaimana tersebut di atas maka tidak adil bila usaha agar seni
pertunjukan wayang bisa kembali kepada hakekatnya sebagai sumber pencerahan
hanya dibebankan di pundak para dalang dan seniman pendukungnya. Sebaliknya
fakta persoalan yang dihadapi oleh seni pertunjukan wayang tersebut hendaknya
menyadarkan para dalang untuk mau terbuka dan bekerja sama dengan pihak lain
sehingga beban tugas yang begitu berat tersebut bisa dikerjakan secara
bersama-sama.
Peluang
Bekerja Sama
Sebenarnya ada
pihak-pihak yang menyediakan diri membantu para dalang untuk melakukan proses
pencarian dalam rangka menegakkan kembali keberadaan seni pertunjukan wayang
sebagai wahana pencerahan. Di lingkungan masyarakat kita banyak terdapat
penulis-penulis buku cerita wayang yang dapat diajak bekerja sama untuk
menafsir kembali cerita wayang agar kontekstual dengan jamannya. Juga ada
individu tokoh mayarakat maupun lembaga-lembaga yang punya perhatian terhadap
kehidupan kesenian tradisional, yang bisa diajak bekerja sama membangun ruang
dan peluang berekspresi. Sekarang tinggal sejauh mana para dalang mau dan mampu
memanfaatkan ruang dan peluang yang ada dan disediakan oleh pihak lain tersebut.
Ki Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen