Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Kamis, 21 April 2011

TERJEBAK CITRA

Telah dimuat di Sub Rubrik LINCAK Harian SOLOPOS, edisi Minggu 14 Nopember 2010
Cool! Keren! Begitulah kira-kira kalau anak gaul bilang ketika mendengar ungkapan slogan Solo the spirit of Java. Sebuah slogan yang luar biasa indah bahkan sangat memenuhi syarat untuk dikatakan bombastis.
Solo the spirit of Java itu maksudnya apa to, Lik?” pertanyaan itu nyelonong begitu saja dari mulut Kampret.
Karyo terhenyak. Ia tak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu. Orang tua yang biasanya ceplas-ceplos enteng jawab setiap pertanyaan tersebut kini terpaksa diam mengerutkan dahi.
“Iya, ya. Maksudnya apa, ya?” bukannya jawaban yang meluncur dari mulut Karyo tetapi malah menggumam turut bertanya.
Ditanya malah ikutan bertanya tidak hanya terjadi pada Karyo. Fenomena itu terjadi pula pada diri hampir semua orang atau warga kota Solo ketika berhadapan dengan slogan indah Solo the spirit of Java.
Bagi orang sebagaimana Karyo yang merasa belum pernah menemukan tulisan ataupun mendengar pembicaraan yang menjabarkan makna, maksud dan tujuan dari slogan Solo the spirit of Java itu, kiranya berhak meraba-raba menafsirkannya.
Kata kunci dari slogan itu adalah kata spirit yang kurang lebih maknanya adalah ‘ruh’, ‘jiwa’ atau ‘semangat’. Terjemahan bebas dalam kalimat sederhana lebih kurang berbunyi: “Solo adalah ruh Jawa”. Kata Jawa itu sendiri kiranya lebih mengacu kepada makna sebagai sebuah konsep kebudayaan, bukannya Jawa dalam pengertian secara geografis sebagai nama pulau. Dengan slogan itu kiranya dimaksudkan Kota Solo bercita-cita menjadi ruh yang memberi daya hidup bagi kebudayaan Jawa. Dengan kata lain Kota Solo menobatkan diri sebagai pilar utama penyangga eksistensi kebudayaan Jawa.
Bila memang makna dan maksud Solo the spirit of Java seperti disebutkan di atas, maka slogan tersebut memang semboyan atau cita-cita yang luhur dan mulia. Sesungguhnya banyak orang berharap demikian. Solo benar-benar diharapkan menjadi pusat pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa yang dapat menjadi kiblat atau sumber inspirasi bagi daerah-daerah lain yang secara geokultural berada di bawah payung besar kebudayaan Jawa.
“Solo ingin menjadi the spirit of Java hanyalah mimpi di siang bolong, Lik,” tukas Kampret.
“Kamu jangan asal sinis, Pret. Kamu tidak melihat betapa gigihnya perjuangan Pemerintah Kota Solo bekerjasama dengan para seniman dan budayawan untuk mengangkat citra Kota Solo sebagai kota budaya melalui beragam kegiatan seni-budaya,” sanggah Karyo.
“Halah! Lagi-lagi citra! Lagi-lagi citra! Kamu ini juga sudah terjebak pada politik pencitraan, Lik!” timpal Kampret.
Citra itu hanya wajah yang dipoles bedak dan gincu. Kebudayaan itu tidak sebatas kesenian, upacara adat atau artefak yang bernilai komoditas. Kebudayaan itu konsep nilai, sebuah tatacara hidup yang di dalamnya merangkum pranata, norma, etika, keyakinan, filosofi kebenaran dan kebaikan menurut kerangka pikir dan rasa orang Jawa.
Nah, kalau kita bicara citra, kita lihat saja perwajahan Kota Solo sekarang apakah mencerminkan kerangka pikir, cita rasa, tatacara hidup dan filosofi orang Jawa yang dibangun dan dikembangkan sekian abad lamanya?
Untuk mengurai jawab atas pertanyaan itu memang akan sangat panjang. Namun sinyal-sinyal ketidak-nyambungan perwajahan Kota Solo dengan slogan the spirit of Java dapat kita lihat dari perilaku pembangunan yang dikembangkan. Pembangunan kota yang mengarah ke pola kehidupan metropolis yang mengusung semangat individualis, liberalistik dan kapitalistik jelas bertentangan dengan semangat budaya Jawa yang mengutamakan kebersamaan dan kegotong-royongan.
Kemudian rusaknya ekologi budaya ditandai oleh maraknya bangunan gedung-gedung megah yang begitu pongah menenggelamkan kewibawaan Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
“Coba rasakan, Lik! Pembangunan kawasan ekonomi Ngarsopuro tanpa disadari telah menutup gerbang Pura Mangkunegaran. Saya khawatir, makin berkembangnya Ngarsopuro maka alun-alun Mangkunegaran hanya akan menjadi tempat parkir. Itu namanya sudah pelecehan situs budaya. Itukah Solo the spirit of Java?” tukas Kampret seraya beranjak melayani pelanggan parkir yang hendak mengambil motornya.
Ki Jlitheng Suparman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar