Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Kamis, 21 April 2011

SECUIL POTRET DI SUDUT FESTIVAL

Telah dimuat di Sub Rubrik Lincak Harian Solopos, Minggu 19 September 2010
Kota Solo semakin bersemangat mengenjot pencitraannya sebagai kota budaya. Salah satunya melalui kegiatan Festival. Banyak perhelatan berbentuk festival seni-budaya baik dalam skala lokal, nasional, bahkan hingga Internasional yang diselenggarakan. Konon salah satu tujuannya adalah sebagai wahana meningkatkan derajat ekonomi masyarakat.
“Tapi derajat ekonomi masyarakat yang mana? Yang jelas ya hanya derajat segelintir orang yang mengerjakan proyek itu saja,” gumam Kampret di atas lincak sambil mengunyah pisang goreng.
“Lho, kamu kok jadi sinis begitu?” tanya Lik Karyo sambil sekali julur dua potong tahu goreng tergenggam di tangan.
“Nggak sinis gimana?! Lihat ini! Makanan yang bertumpuk di atas lincak yang kita makan ini. Ini dagangan saya yang bubruk di festival internasional tadi malam,” ungkap Kampret kesal seraya menuding-nuding setumpuk makanan sisa jualan hik-nya semalam.
Apa yang dialami Kampret tersebut benar-benar sebuah potret kecil yang terselip di balik perhelatan-perhelatan besar yang terselenggara di kota Solo. Festival-festival dalam berbagai skala itu memang benar-benar sukses, baik dari sisi acara maupun pengunjung. Namun sayang kesuksesan itu tidak menyentuh kehidupan pedagang kecil, terutama para pedagang kaki lima.
Dari sekian kali kegiatan festival yang terselenggara, tampak sekali kesan bahwa penyelenggara melalui panitianya sebatas berpikir kepentingan kesuksesan acara itu sendiri. Kepentingan-kepentingan di luar itu tampak terabaikan, termasuk kepentingan menyangkut peluang usaha bagi pedagang kecil.
Bahkan ada kecenderungan menyingkirkan keberadaan pedagang kecil tersebut dari kegiatan. Terbukti setiap kali para pedagang kecil berusaha mendekat ke area perhelatan di sana telah berdiri tegap satuan polisi Pamong Praja atau satuan keamanan lain yang dengan begitu tegasnya mengusir mereka agar menjauh.
“Bukankah yang mengelola beragam acara festival di Solo itu para seniman budayawan yang selama ini berteriak tentang nasib orang kecil? Tetapi mengapa ketika diserahi mengelola acara besar kemudian mereka justru melupakan orang kecil?” Lik Karyo bertanya-tanya.
Kampret hanya menggeleng tak habis pikir. Yang dia tahu, bahwa desain acara yang dirancang memang tidak menyertakan ruang dan peluang bagi kaum pedagang kecil. Dari desain tata ruang saja tampak sekali bahwa kegiatan itu hanya berorientasi kepada acara dan pengunjung. Bagaimana penataan panggung yang strategis dan bagaiman penyediaan arena yang cukup untuk menampung penonton.
Penyelenggaraan karnaval-karnaval pun begitu. Penyelenggara seakan hanya tahu membuat rute menutup jalan dan meletakkan panggung bagi pejabat dan tamu undangan. Bagi masyarakat penonton dan pedagang kecil ya terserah putuskan sendiri mau ambil posisi berhimpit-himpitan di mana. Menonton tidak nyaman, ya itu konsekuensi tontonan gratis. Berdagang tak laku ya itu resiko modal kecil.
“Mungkin pedagang kecil seperti saya ini memang dianggap sampah yang hanya akan mengotori keindahan dan kemegahan festival,” keluh Kampret.
Keluh-kesah Kampret itu sebenarnya tak perlu terdengar ketika kita mau menyisakan ruang pikir sedikit untuk mereka. Keberadaan pedagang kecil, terutama kaki lima seperti hik, gerobak rokok, dan sebagainya yang tampilannya memang teramat sederhana dan cenderung kumuh tersebut kiranya dapat tidak dikesankan sebagaimana sampah, tapi sebaliknya disikapi sebagai bumbu. Konon dalam dunia seni ada ungkapan bahwa indah tidak mesti bersih, megah tak harus mewah.
Mengingat hampir seluruh penyelenggaran event besar di kota Solo dewasa ini tak lepas dari keterlibatan para seniman-budayawan, pada hematnya mesti ada pemikiran untuk mengantisipasi bolong-bolong yang justru menodai tujuan mulia kegiatan tersebut. Kiranya tak ada yang meragukan kepiawaian para seniman-budayawan di Solo dalam menyiasati kondisi demi meraih kepentingan bersama.
“Cuma pertanyaannya, masih tersisa atau tidak ruang perhatian dan semangat kejuangan para seniman-budayawan itu bagi kaum lemah seperti kita ini, Pret,” ungkap Lik Karyo bergegas beranjak dari lincak oleh lambaian tangan pelanggan yang memerlukan jasa becaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar