Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Kamis, 21 April 2011

REVIEW KEBUDAYAAN INDONESIA

Peradaban Indonesia dewasa ini mengalami kemunduran. Kepribadian dan kebesaran bangsa Indonesia semakin rapuh oleh karena penyelenggara negara tidak mampu mengawal keberlangsungan eksistensi kebudayaannya sendiri. Inferioritas bangsa Indonesia terhadap budaya dan nilai-nilai dari luar, terutama dari belahan dunia barat, benar-benar menggilas konsep nilai yang sudah dilahirkan dan dikembangkan oleh manusia Indonesia sendiri selama berabad-abad.
Kebudayaan yang dalam arti luas meliputi segala aspek perilaku dan usaha manusia dalam menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupannya, oleh negara dipersempit maknanya sebatas upacara adat, kesenian tradisional dan artefak. Kemudian paradigma kebudayan diletakkan sebagai kata benda, bukan sebagai kata kerja. Kebudayaan sebatas dimaknai sebagai produk bendawi dan punya nilai jual (komoditas). Kapitalisasi produk-produk kebudayaan tradisional yang dimotori oleh pariwisata senyatanya mengabaikan eksistensi produk-produk kebudayaan tersebut sebagai bagian dari sistem yang memproses konsep nilai.
Industri pariwisata memaksa masyarakat mengeksploitasi karya-karya budayanya sebagai mesin pendulang uang. Sebuah realitas yang tanpa disadari menutup ruang proses eksplorasi adat-budaya dan kesenian di masyarakat sebagai wahana meraih pencerahan yang pada gilirannya akan bermakna besar bagi pembinaan religiusitas, mentalitas dan moralitas setiap individu anggota masyarakat.
Negara benar-benar absen terhadap perlindungan dan pengelolaan kebudayaan. Negara yang memang menenggelamkan diri pada mitos kesejahteraan pisik-material menganggap persoalan mentalitas dan moralitas bukanlah urusannya. Tragisnya lagi negara tidak mau bertanggung jawab dan menyerahkan sepenuhnya urusan kesejahteraan kepada masing-masing pribadi rakyatnya.
Kompetisi perburuan mitos kesejahteraan pisik-material berlangsung sedemikian ketat dan keras. Kondisi tersebut tanpa disadari memasung potensi keluarga, komunitas kampung, dan komunitas tradisi sebagai instrument pelembagaan nilai. Proses pewarisan, pembelajaran maupun pengembangan konsep nilai menjadi mandeg, sikap dan perilaku manusia Indonesia menjadi kehilangan kharakter. Dekadensi moral kian berkembang karena sudah tidak ada lagi proses pelembagaan nilai di tubuh manusia Indonesia.
Ke depan Indonesia perlu meninjau kembali paradigma berkebudayaannya. Kebudayaan harus diletakkan sebagai kata kerja, yakni sebagai sebuah proses yang bersifat transformatif atas segala unsur kebudayaan dengan berbasis konsep nilai miliknya sendiri. Unsur nilai yang datang dari luar disikapi sebagai materi pengayaan dan penyempurnaan bagi kebudayaannya sendiri.
Dengan berbekal paradigma kebudayaan sebagai kata kerja selanjutnya Indonesia harus memiliki strategi kebudayaan yang jelas. Pancasila, Pasal 32 UUD 1945, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sesungguhnya dapat diletakkan sebagai strategi kebudayaan Indonesia. Tinggal kemudian pemerintah Indonesia menerjemahkan ke dalam langkah-langkah politik praktis kebudayaan yang bermakna memberi perlindungan dan dukungan nyata terhadap proses pengelolaan kebudayaan masyarakat.
Yang tidak kalah penting dari semua itu, berkait dengan persoalan mentalitas dan moralitas, bagaimana negara mampu mengubah mitos kesejahteraan pisik-material menggantinya dengan mitos “kesejahteraan lahir-batin”. Mitos yang di era orde baru terungkapkan sebagai cita-cita “membangun manusia Indonesia seutuhnya”, walau kenyataanya sebatas pepesan kosong.
Dengan mitos kesejahteraan lahir-batin maka kompetisi tidak sebatas pada ranah pisik-material yang cenderung mengembangkan mental serakah dan korup, namun juga kompetitif di ranah mental-spiritual di mana rasa malu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan lahir dan bertumbuh-kembang.
Semoga.
18/12/2010
Jlitheng Suparman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar