Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Kamis, 21 April 2011

FESTIVAL KAMPUNG

Tulisan ini telah dimuat di Sub Rubrik LINCAK Harian SOLOPOS 9 Januari 2011
Lik Karyo tersenyum geli melihat penampilan Kampret yang maunya rapi tapi malah tampak culun. “Wuih! Tumben rapi amat. Dari mana, Pret?” tanya Lik Karyo “Dari kelurahan, rapat Karang Taruna, Lik. Karang Taruna kita diminta mengirimkan grup kesenian untuk panggung Festival Kampung,” jawab Kampret seraya duduk di lincak di samping Lik Karyo.
“Acara apa itu?” tanya Lik Karyo lagi. “Katanya sebuah kegiatan untuk pengenalan sekaligus mengangkat potensi kampung-kampung di Solo, terutama potensi-potensi yang berhubungan dengan seni-budaya,” terang Kampret.
“Lha terus kampung kita mau ngeluarkan kesenian apa?”
“Belum tahu, Lik. Wong ini tadi baru mendengarkan penjelasan Pak Lurah dan masih meraba-raba kesenian apa yang bisa kita munculkan. Lha wong kita juga masih ragu-ragu apa di kelurahan kita masih ada kampung yang ngopeni kesenian,” jawab Kampret.
“Ah, kalau bicara pelestarian dan pengembangan seni dan budaya selalu saja terjebak pada panggung kesenian,” gumam Lik Karyo.
Terlepas dari benar tidaknya konsepsi “revolusi budaya” yang di lontarkan Walikota Solo, Joko Widodo, gagasan tersebut ada nilai positifnya memancing greget masyarakat Solo untuk mau bangkit bicara tentang kebudayaan.
Sekurang-kurangnya, seorang networker kebudayaan yang tinggal di Solo, Halim HD, baik melalui tulisan di mass media maupun dalam diskusi-diskusi di berbagai tempat, berpendapat bahwa kebudayaan kota pada dasarnya merupakan konfederasi kebudayaan kampung atau desa. Untuk merevolusi kebudayaan kota atau lebih nyaman dikatakan merevitalisasi kebudayaan kota, tiada jalan lain merevitalisasi kebudayaan di kampung-kampung.
Kiranya event Festival Kampung, juga berangkat dari sebagaimana diungkapkan oleh Halim HD. Namun sayang, penerjemahannya menjadi begitu naïf ketika potensi kebudayaan kampung sebatas dimaknai kesenian, di samping juga artefak dan kuliner, apa lagi kemudian diletakkan di atas panggung tunggal dan sentralistik. “Jika ingin menghidupkan kembali kebudayaan kampung semestinya tidak menghadirkan potensi kampung ke satu kegiatan secara terpusat, tetapi justru kegiatan itu yang semestinya hadir di kampung. Yang muncul hanya peristiwa kesenian, bukan peritiwa kebudayaan, Pret,” ucap Lik Karyo.
“Loh, apa bedanya, Lik?” tanya Kampret.
“Jelas beda. Dikatakan hanya peristiwa kesenian karena di balik panggung tidak terjadi proses apa-apa selain kegiatan teknis sekelompok panitia. Berbeda dengan peristiwa kebudayaan. Di balik pementasan kesenian ada jalinan peristiwa kebudayaan yang mengantar pementasan karena prosesnya ditangani oleh sekelompok masyarakat. Bayangkan panggung-panggung kesenian itu ada di kampung-kampung, dikerjakan oleh masyarakat kampung, maka di sana banyak jalinan peristiwa kebudayaan yang berlangsung. Di sana ada pembinaan, pewarisan dan pembelajaran nilai. Salah satu contoh, anak-anak akan belajar secara langsung tentang nilai kebersamaan dan gotong-royong. Begitu luas kompleksitas nilai yang bisa dipelajari anak-anak. Itu tidak akan terjadi pada perhelatan seni-budaya yang diselenggarakan oleh pemerintah dan penanganannya diserahkan ke sekelompok panitia atau EO.”
“Lha terus enaknya gimana, Lik? Karang Taruna kita jadi ikut apa tidak?” tanya Kampret.
“Ya terserah kalian. Kalau memang punya kesenian ya ikut saja dari pada nanti dibilang nggak mau berpartisipasi. Tapi kalau nggak punya kesenian ya nggak usah mengada-ada membikin kesenian. Karena itu bukan potensi yang sesungguhnya tapi hanya akal-akalan sesaat.”
Kampret terdiam. “Yang mestinya kita sadari, Pret, pelestarian dan pengembangan seni budaya berikut nilai-nilainya tidak selesai hanya di atas panggung,” tukas Lik Karyo.
Jlitheng Suparman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar