Tulisan ini dimuat di Sub Rubrik Lincak Harian Solopos edisi Minggu, 1 Mei 2011
Makin maju dan makin kreatif. Begitulah kesan yang ditangkap banyak orang ketika melihat perkembangan Kota Solo, terutama menyangkut pengembangan sarana transportasi publik, baik untuk melayani kepentingan regular maupun keperluan wisata. |
Untuk kepentingan regular hadir sarana transportasi Batik Solo Trans (BST) dan segera menyusul rail bus. Untuk kepentingan wisata lebih variatif lagi, mulai dari kereta Punakawan, Jaladara, bus tingkat Werkudoro dan yang makin hangat dibicarakan adalah kereta kencana. Merespons maraknya sarana transportasi di Solo tersebut sampai-sampai Pak Menteri Perhubungan mengatakan upaya revitalisasi sarana transportasi kota budaya itu layak dijadikan percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia. “Pernyataan Pak Menteri itu terlalu tergesa-gesa,” celetuk Kampret. Lik Karyo yang sedari tadi asyik mengelap becak butut yang nasibnya makin megap-megap itu, hanya berpaling sesaat seakan mempertanyakan celetukan Kampret. “Kalaulah memang sudah berhasil ya bolehlah dicontoh. Tapi apa iya kehadiran berbagai alat transportasi di Solo itu sudah menggambarkan keberhasilan revitalisasi sarana transportasi publik? Apa iya, baru sebatas gagasan sudah dapat dikatakan berhasil,” lanjut Kampret. “Baru gagasan gimana? Wong nyatanya sudah direalisasikan gitu kok,” sanggah Lik Karyo. “Yang dijadikan ukuran berhasil itu realisasi barangnya atau pemanfaatannya?” serang balik Kampret. Memang gejala yang terjadi di masyarakat kita adalah mudah terjebak euforia kesukacitaan menerima kehadiran barang baru namun lupa kepada asas kepentingan dan manfaat. Asas kepentingan, bagaimana sebuah gagasan muncul berdasarkan kebutuhan riil. Asas manfaat, bagaimana realisasi gagasan itu benar-benar menjawab kebutuhan riil itu. Kebutuhan hadir secara alamiah, tidak bisa direkayasa atau diada-adakan. Warga masyarakat Kota Solo memang butuh lebih banyak sarana transportasi umum. Namun untuk menjawabnya bukan sebatas menghadirkan bus dan membuat selter. Untuk menentukan rute trayek harus diteliti betul tentang mobilitas warga masyarakat, tidak berangkat dari prakiraan yang bersifat berandai-andai. Pengamatan empirik dapat kita lihat selter yang senantiasa kosong, BST pun berjalan mlompong. Sebuah fakta yang membuktikan bahwa realisasi bus itu salah menjawab kebutuhan. Ketika pun nanti rail bus beroperasi niscaya akan ompong ketika tak didahului kajian tentang mobilitas warga masyarakat guna menentukan rutenya. Belum dampak dari persoalan benturan dengan keberadaan sarana transportasi lain yang dikelola oleh swasta. Lihat pula riwayat panggung transportasi wisata kota The Spirit Of Java. Punakawan pingsan kehabisan napas pada babak pertama. Jaladara jadi tokoh tua yang lebih banyak terbatuk-batuk. Werkudara baru selesai berhias entah keluarnya nanti adegan ke berapa masih menanti aba-aba sang sutradara. Kereta kencana sebentar lagi hadir namun masih bingung menentukan tempat parkir. Sutradara panggung transportasi Kota Solo niscaya akan kelabakan mengatur adegan karena naskah lakon sesungguhnya memang belum tersusun. “Kalau saya pikir, maraknya sarana transportasi baru di Solo itu pengadaannya cenderung tidak berangkat dari kebutuhan, namun lebih berdasarkan keinginan. Solo kota kecil. Dan lagi, punya objek wisata apa sih kota Solo ini yang mesti dijangkau dengan sekian banyak alat transportasi?” tukas Kampret. “Ya wisatawan nantinya kan bisa diarahkan ke Waduk Gajahmungkur, ke Tawangmangu, ke Cokrotulung, dan lain sebagainya ta, Pret” ujar Lik Karyo. “Itu kan objek wisata milik tetangga, mengapa kita yang mbingungi? Memangnya begitu mudahnya masuk ke rumah tetangga?” sergah Kampret. “Kalau tidak ya muter-muter Kota Solo kan ya lumayan,” jawab Karyo asal-asalan. “Hmm… Kiranya benar sinyalemen yang pernah dilontarkan oleh seorang cendekia: orang Indonesia cenderung suka bermain-main gagasan, bukan mengerjakan gagasan. Benar-benar republik mimpi,” seloroh Kampret. - Oleh : Jlitheng Suparman Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen |
Ajang Kampret Ngomyang
Sabtu, 30 April 2011
LEBIH SUKA BERMAIN GAGASAN
Jumat, 22 April 2011
"TEBANGLAH DAKU KAU BERENANG"
Lakon Wayang Kampung Sebelah
Oleh: Ki Jlitheng Suparman
Berangkat Mencuri
Karyo mendesak Kampret agar bergegas mempercepat langkahnya. Kampret malah kemudian berhenti ingin tahu hendak diajak ke mana. Karyo akhirnya menjelaskan bahwa Kampret hendak diajak mencuri kayu di hutan untuk kayu bakar dan bahan perbaikan rumah yang makin reot. Mengingat untuk memakai gas LPG selain mahal juga khawatir dengan maraknya kasus kompor meleduk.
Kampret agak ragu-ragu dan takut untuk melakukan pencurian. Ia menolak ajakan itu, tapi Karyo mendesaknya. Kampret tidak dapat mengelak, tapi untuk melakukan aksi itu ia butuh suport keberanian, maka ia mengeluarkan stok mirasnya. Karyo diajak minum dulu sebelum beraksi. Karyo yang semula ingin bergegas, akhirnya meladeni Kampret minum bersama. Seraya minum keluh kesah Karyo seputar kehidupanya yang makin sulit pun tertumpah. (Juga rerasan tentang polusi dan pencemaran industri di lingkungannya yang mengganggu kesehatan keluarganya).
Selagi keduanya asyik, Sodrun muncul secara tiba-tiba seraya menodongkan senjata api ke arah mereka. Petugas polisi kehutanan itu akan menangkap keduanya yang dicurigai akan melakukan pencurian dengan bukti didapati membawa perlatan menebang kayu. Pengaruh alkohol yang merasuk ke tubuh Karyo dan Kampret membuat keduanya bukannya mengelak dari tuduhan tetapi justru mengaku memang hendak mencuri kayu, Namun demikian Karyo menolak untuk di tangkap. Karyo bersedia ditangkap kalau semua cukong-cukong pelaku illegal loging sudah ditangkapi semua. Jangan beraninya cuma menangkapi orang kecil seperti dirinya yang ketika mencuri pun jumlahnya relatif sangat kecil dibanding pelaku illegal loging.
Sodrun yang lugu itu membenarkan ucapan Karyo. Ia rela melepas Karyo dan Kampret, bahkan bersemangat akan memperjuangkan aspirasi Karyo di hadapan atasannya. Sodrun lantas pamit pergi dengan tidak lupa minta doa restu dari keduanya agar maksudnya memperjuangkan aspirasi Karyo berhasil.
Karyo puas karena berhasil mengakali Sodrun yang lugu. Walau Sodrun sudah pergi dan urung menangkap mereka, Karyo memutuskan membatalkan aksinya karena zona waktu aman mencuri telah habis. Ia akan beraksi lain hari kalau keadaan di rasa benar-benar aman. Kampret lantas di ajak pulang.
Kelurahan Bangunjiwo
Lurah Somad mengadakan rapat dengan tokoh masyarakat Bangunjiwo. Hadir di sana Eyang Sidik Wacono, Mbah Modin, Parjo, dan Kusumo Budoyo. Pertemuan itu membicarakan program lomba 3K antar desa se-kabupaten. Parjo selaku juru bicara Lurah Somad menjelaskan perihal lomba itu. Sebagian penjelasannya menyebutkan bahwa semua pepohonan besar harus di tebang, diganti pepohonan yang lebih kecil dan mudah ditata guna menciptakan suasana rapi dan indah, bila perlu diganti dengan pohon imitasi. Selain dapat didesain keindahannya juga tidak perlu merawat setiap hari.
Eyang Sidik Wacono menolak sejumlah rencana dalam rangka pemenangan lomba, terutama yang berhubungan dengan penebangan pohon. Mereka diingatkan bahwa gunung makin gundul dan hutan makin rusak oleh penebangan liar. Kalau kemudian yang di wilayah hunian pun mengabaikan pepohonan maka resiko banjir dan tanah longsor niscaya mengancam semua tempat.
Mbah Modin angkat bicara. Ia mengecam penolakan Eyang Sidik Wacono yang lebih karena tidak rela aset pepohonannya ditebang tanpa ganti rugi. Bukankah program itu untuk kepentingan bersama? Tanpa ada kompensasi pun Eyang Sidik tidak akan rugi karena dapat menjual kayunya, bahkan akan untung besar. Karena pepohonan milik mbah sidik banyak dan besar-besar ketika dijual akan membuatnya kaya raya. Lagian ada pohon dan sendang di lingkungan Eyang Sidik yang dikultuskan yang mana hal itu harus dihilangkan karena bertentangan dengan ajaran agama.
Eyang Sidik Wacono agak tersinggung atas apa yang diungkapkan Mbah Modin. Ia balik mengecam pola pikir Mbah Modin yang sudah dikuasai uang. Ia mempertahankan pepohonan demi kelestarian kehidupan ke depan. Apa gunanya kaya raya kalau kelak anak cucu menderita? Pengkultusan jangan selalu dinilai sebagai menyekutukan Tuhan. Pengkultusan yang dilakukan oleh orang tradisional adalah implementasi penghormatan terhadap nilai-nilai sejarah kebudayaan dan penghormatan kepada alam. Pengkultusan itu lebih bermakna sebagai implementasi penghayatan atas nilai keilahian (religiusitas) yang diasumsikan ada dan hadir di mana saja. Religiusitas manusia tradisional yang hadir melalui mitos-mitos tradisional terbukti lebih mampu membentuk sikap perilaku manusia yang mengacu kepada tiga konsep keselarasan: (1) keselarasan hubungan manusia dengan manusia; (2) keselarasan hubungan manusia dengan alam; dan (3) keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan. Mitos-mitos itu terbukti telah mampu menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Boleh saja Mbah Modin menghapus mitos-mitos di masyarakat tradisional, namun hasilnya harus sepadan atau lebih baik. Jangan sampai rasionalisasi atas nilai-nilai keilahian justru membuahkan sikap tidak hormat kepada alam dan merusaknya. Agama pun niscaya tidak mengijinkan hal itu terjadi.
Parjo selaku juru bicara lurah menghentikan perdebatan itu dengan memutuskan tetap akan mengikuti lomba dan menerapkan program-program yang telah direncanakan yang diyakini hasilnya akan positif bagi penataan kawasan dan lingkungan yang lebih baik. Eyang Sidik Wacono kecewa atas “kenekadan” yang ditetapkan oleh Lurah Somad melalui juru bicaranya itu. Dengan serta merta Sesepuh desa itu melakukan “walk out”, melesat pergi bagai kilat.
Lurah Somad mengajak semua yang hadir beserta seluruh warga desa Bangunjiwo untuk menyukseskan lomba kebersihan yang akan diikuti. Pertemuan selesai.
Pengumuman Hasil Lomba
Karyo dan Kampret menyelenggarakan nobar (nonton bareng) pengumuman hasil Lomba yang disiarkan secara lansung. Tapi ya hanya nobar berdua sembari menikmati miras oplosan kesukaan mereka. Layar lebar yang dibuat dari plastik transparan sudah disiapkan. Teve hitam putih kesayangan Karyo sudah di letakkan di balik layar. Konsepnya: nonton teve di layar lebar.
Saat Pengumuman hasil lomba 3K sudah tiba. Sebelum pengumuman hasil lomba disampaikan, hadirin disuguhi pertunjukan musik dangdut. Setelah beberapa penyanyi beraksi menghibur hadirin, Pengumuman hasil lomba disampaikan oleh Ketua Dewan Juri. Desa Bangunjiwo mendapat juara II. Selesai pengumumuman, acara pun ditutup.
Kekecewaan
Parjo, Mbah Modin, dan Kusumo Budoyo menghadap Lurah Somad. Mereka menyatakan kekecewaannya lantaran Desa Bangunjiwo hanya mendapat posisi juara II. Padahal seharusnya desa mereka mendapat juara I. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan desa mereka kalah dalam lomba kebersihan. Usut punya usut, mereka menemukan penyebabnya. Padepokan Ngadiluwih milik Eyang Sidik Wacono merupakan sumber penyebab kekalahan. Karena padepokan itu memiliki pekarangan yang luas dan banyak ditumbuhi pepohonan yang besar, juga banyak ditumbuhi semak belukar. Pagar pekarangan hanya dari tetumbuhan, bukannya dipagar beton, sehingga jauh dari kesan kerapian dan ketertiban. Kondisi padepokan itulah yang mengurangi nilai desa mereka.
Mbah Modin yang agak tidak suka dengan Eyang Sidik Wacono mengutarakan pemikirannya untuk memberi pelajaran kepada salah satu sesepuh desa itu. Gagasan tersebut disetujui, Parjo diminta mengumpulkan preman dan mengatasnamakan warga memobilisasi massa menebangi pepohonan di Ngadiluwih, padepokan Eyang Sidik Wacono.
Order Demo
Parjo mengundang Karyo, Kampret dan Jhony. Mereka bertiga diberi proyek demo anarkhis. Mereka diminta menggerakkan warga untuk merusak, menebagi dan menjarah pepohonan yang ada di lingkungan Ngadiluwih dengan dalih sebagai penyebab kekalahan lomba.
Bencana
Karyo, Kampret dan Jhoni mengerahkan warga Bangunjiwo berbondong mendatangi rumah Eyang Sidik Wacana. Mereka memprotes orang tua itu yang tidak mengikuti program kebersihan dan ketertiban lingkungan. Pekarangan dan lingkungan lain sudah kelihatan bersih dan rapi. Tinggal lingkungan pekarangan Eyang Sidik Wacono yang masih kelihatan seperti belantara. Banyak pohon besar menjulang yang kerindangannya meneduhi jalanan membuat kondisi jalan selalu lembab di musim hujan. Berbagai tanaman liar yang tumbuh di pekarangan memperlihatkan pemandangan yang jauh dari kerapian dan keindahan. Warga meminta pemilik padepokan Ngadiluwih itu mengikuti anjuran pemerintah dan kesepakatan warga melakukan gerakan kebersihan. Namun orang tua itu bersikukuh tidak mau. Ia lebih memilih kekumuhan yang diciptakan oleh alam ketimbang kerapian dan keindahan yang diciptakan manusia. Kekumuhan alam justru menyimpan keindahan sejati dan lebih menjanjikan keberlangsungan kehidupan. Ketertiban dan kerapian yang diciptakan manusia adalah keindahan yang dipaksakan dan tak mampu menjamin keberlangsungan hari esok.
Pemikiran orang tua itu oleh orang-orang dianggap kolot dan tidak masuk akal. Mereka menjadi marah dan sepakat menertibkan paksa lingkungan pekarangan Eyang Sidik Wacono. Namun sebelum mereka bergerak, mendadak hujan lebat dan tiupan prahara mengguncang Desa Bangunjiwo. Dalam waktu singkat banjir dan tanah longsor memporakporandakan seisi desa. Hampir seluruh penduduk desa kehilangan tempat tinggal beserta semua hartanya. Hanya tempat tinggal dan lingkungan Eyang Sidik Wacono yang tampak utuh. Warga pun berbondong mengungsi dan berlindung di padepokan itu.
Beberapa saat kemudian hujan dan prahara reda. Kepedihan dan kesedihan menyelimuti warga desa yang berkumpul di padhepokan Ngadiluwih. Tampak sejumlah mayat terbujur kaku di tengah pendhapa. Suara Eyang Sidik Wacana menyeruak di antara isak tangis dan kekalutan hati segenap warga. Ia mengajak mengkaji dan menyadari apa yang baru saja dialami. Alam lebih bisa mengatur diri. Kejumawaan tangan manusia hanya akan membuatnya rapuh. Ketika alam meluruh, kehidupan pun akan runtuh. Pada keliaran dan kekumuhan alam di sanalah letak sejatinya keindahan dan keberlangsungan kehidupan.
Tancep Kayon