Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Selasa, 30 April 2013

PANGERAN SAMBERNYAWA, Mawas Diri Menakar Keberanian Menuju Perubahan




Oleh: Jlitheng Suparman

Filsuf Karl Popper menegaskan: sejarah tidak punya arti. Karena fakta masa lalu sebagai fakta masa lalu tidak memiliki arti pada dirinya sendiri, khususnya bagi kita yang hidup di masa sekarang. Fakta itu baru memiliki arti bagi kita kalau kita memutuskan untuk memberinya arti (Dr. Baskara T. Wardaya, SJ, “Bung Karno Menggugat”, 2008:9). Berangkat dari arti atau makna yang kita berikan itulah kita belajar dari fakta masa lalu itu untuk hidup kita di masa kini dan selanjutnya.
Pengertian itu kiranya berlaku pula bagi kita dalam melihat sejarah masa lalu bangsa Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan Pangeran Sambernyawa dan segenap jejak perjuangannya berikut ajaran yang diberikannya. Alur kisah perjuangan Pangeran Sambernyawa hanyalah rangkaian peristiwa fakta masa lalu, ajaran-ajarannya hanyalah susunan kata-kata, bermakna atau tidaknya tergantung pada bagaimana kita memaknai semuanya itu.
Pangeran Sambernyawa, salah satu tokoh raja Jawa itu kiranya sangat menarik untuk diperbincangkan. Pada hematnya gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran yang dicetuskannya relevan dengan problematika kekinian yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Semangat juangnya, gagasan-gagasan cerdasnya, dan ajaran-ajaran bijaknya dapat kita jadikan sumber inspirasi bagaimana kita harus bersikap dan bertindak dalam berupaya lepas dari jeratan krisis multi dimensi melalui target perubahan besar dan mendasar bagi Indonesia.


Pangeran Sambernyawa
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Sahid lahir di Keraton Kartasura, 7 April 1725 , meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada usia 70 tahun, mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1983. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara dan ibunya bernama R.A. Wulan. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan R.M. Sahid selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya. Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati".
Dimasa kecilnya R.M. Sahid mengalami penderitaan hidup yang berat. Ketika berusia 3 tahun beliu kehilangan ibu karena pulang ke rahmatullah. Tahun berikutnya ditinggalkan oleh ayahnya yang atas perintah Pakubuwuno II di Kartasura disingkirkan dari ibu kota kerajaan Mataram ke Betawi, dan 3 tahun kemudian di-kendhang-kan (diasingkan) ke Kaaspstad, Afrika Selatan, hingga akhir hayatnya.
R.M. Sahid mulai terlibat perjuangan pisik pada usia 19 tahun. Ia bergabung dengan R.M. Garendi (Sunan Kuning) yang memimpin pemberontakan laskar Tionghoa terhadap Kerajaan Kartasura di bawah kekuasaan Pakubuwono II, 30 Juni 1742. Peristiwa pemberontakan yang populer disebut geger Pecinan tersebut berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. RM Sahid berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram (Kartasura) dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai rekayasa Belanda yang membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Sahid karena dinilai memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan tiga musuh sekaligus, yakni kekuasaan Pakubuwono III, Hamengkubuwono I (yaitu Pangeran Mangkubumi, paman sekaligus mertua yang dianggapnya berkhianat dan diangkat menjadi raja oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Belanda yang merasa kewalahan menghadapi pasukan Pangeran Sambernyawa kemudian meminta Pakubuwono III untuk melakukan perdamaian. Perjanjian damai antara Pakubowono III dan Pangeran Sambernyawa diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Inti perjanjian disepakati bahwa R.M. Sahid diberi kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri/otonom, bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Wilayah kekuasaannya meliputi Keduwang, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.

Spirit dan Mental
Perjuangan melawan kekuasaan memang berat, termasuk perjuangan Pangeran Sambernyawa. Besarnya kekuatan Mataram dan VOC dalam hitungan rasional jelas bukan lawan Raden Mas Sahid. Namun fakta berbicara lain. Pendiri Kadipaten Mangkunegaran itu mampu membuktikan bahwa besarnya kekuatan lawan yang mestinya bukan tandingannya itu mampu dikalahkan, sekurang-kurangnya mampu dibuat kewalahan. Pertanyaanya, apa yang membuat Pangeran Sambernyawa mampu melampaui keterbatasan bekal pisik-materialnya sehingga mampu meraih kejayaan? Kisah perjuangan Pangeran Sambernyawa seakan memberitahukan bahwa keberhasilan perjuangan tidak semata-mata ditentukan oleh bekal pisik-material. Spirit dan mental adalah modal utama sebuah perjuangan. Spirit dan mental adalah wilayah jiwani sebagai pondasi yang menentukan kokoh-rapuhnya perjuangan.
Dalam buku “Babad Panambangan” yang pada alih aksaranya diubah judulnya menjadi “Babad KGPAA Mangkunegara I”, terungkap bahwa awal pergerakannya dimulai sejak keluar dari Keraton Kartasura menuju ke Desa Nglaroh. Kala itu R.M. Sahid alias R.M. Suryokusumo hanya diikuti oleh 18 orang. Beberapa waktu kemudian menyusul lagi 6 orang, sehingga jumlah pengikutnya menjadi 24 orang. Orang-orang itulah yang nantinya menjadi pasukan inti Pangeran Sambernyawa sepanjang menjalani perang gerilya.
Siapa sebenarnya ke-24 orang itu? Kebanyakan dari mereka adalah putera-putera para adipati bawahan Pakubuwono II sendiri yang tewas menjadi korban ketidak-adilan penguasa Kartasura tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah teman sepermainan R.M. Sahid dan mereka hanya pemuda biasa. Ketika kemudian mereka tumbuh menjadi pasukan handal tiada lain karena gemblengan mantal dan pisik dari R.M. Sahid. Mereka disatukan dan digerakkan oleh spirit dan prinsip perjuangan yang ditanamkan oleh sosok pemuda yang nantinya terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa itu.
Tiji-tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh” (mati satu mati semua, mulia satu mulia semua) semboyan yang selalu ditanamkan oleh R.M. Sahid di tubuh pengikutnya. Ketika ada satu anggota yang tewas, yang lain harus membela hingga titik darah penghabisan. Ketika nanti meraih keberhasilan berbuah kemuliaan, tidak hanya satu orang yang menikmati tetapi semua harus merasakan. Sebuah spirit yang mencerminkan nilai kesatuan rasa senasib sepenanggungan, kesetaraan, dan kebersamaan.
Semboyan senada yang ditekankan oleh Pangeran Sambernyawa yakni yang berbunyi: “hanebu sauyun, kalamun ta keleban banyu tan ana kang pinilih”. Ibarat serumpun pohon tebu, jikalau tergenangi air tak akan ada yang bisa dipilih, yang tinggi, yang pendek, yang besar dan yang kecil semuanya akan turut tergenangi. Ungkapan yang tetap menandaskan semangat kesetaraan, kebersamaan dan senasib sepenanggungan.
Semboyan-semboyan itu menjadi prinsip yang mampu menyatukan sekaligus menggelorakan semangat juang pengikut Pangeran Sambernyawa. Semboyan-semboyan itu ketika kita tarik makna yang lebih dalam lagi, tersirat satu pelajaran bahwa konsolidasi pikiran merupakan dasar perjuangan. R.M. Sahid perlu keluar dari keraton dan mendirikan markas di Desa Nglaroh tiada lain untuk mencari ruang konsolidasi pikiran dan menggembleng mental serta pisik sebagi bekal perjuangan. Di ruang itulah R.M. Sahid mengolah gagasan, menyamakan pandangan dan tujuan. Ruang di mana konstruksi pemahaman nilai-nilai (ideologi) yang akan diperjuangkan dibangun dan dii
nternalisasikan.
Kesadaran, semangat dan strategi adalah kunci keberhasilan perjuangan Pangeran Sambernyawa. Asas perjuangan itu terefleksikan dalam ajaran yang terkenal dengan sebutan Tri Darma:
Rumangsa melu handarbeni,
Wajib melu hangrungkebi,
Mulat sarira hangrasawani

(Merasa ikut memiliki,
Berkewajiban ikut membela,
Mawas diri berujung keberanian)

Ajaran Tri Darma Pangeran Sambernyawa itu kiranya berangkat dari sebuah persoalan “mengapa orang merasa harus berjuang?”. Orang berjuang niscaya berangkat dari suatu alasan. Orang tergerak melakukan perjuangan tentu didorong oleh suatu alasan. Alasan itulah yang mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah kesadaran akan masalah. Alasan itu bisa muncul dengan sendirinya (berangkat dari aktivitas berpikirnya sendiri), bisa pula dimunculkan oleh pihak di luar dirinya (kesadaran yang muncul oleh rangsangan pikiran orang lain).
Keberadaan alasan itu sendiri juga sebuah persoalan: kita punya alasan atau tidak untuk memperjuangkan sesuatu? Pangeran Sambernyawa menyadari bahwa tidak semua orang merasa punya alasan sehingga tergerak untuk ikut terlibat dalam satu perjuangan. Tapi ia melihat ada satu alasan yang dapat ditumbuhkan di tubuh setiap orang yakni “rumangsa melu handarbeni” (merasa ikut memiliki). Terhadap persoalan apa pun, termasuk persoalan kehormatan, harkat dan martabat bangsa dan negara, orang cenderung apatis ketika tidak ada kesadaran merasa ikut memiliki. Maka kesadaran itu perlu dimunculkan dan perlu dipupuk agar menjadi daya dorong yang menggerakkan diri seseorang untuk melakukan tindakan perjuangan.
Kesadaran muncul dari pengetahuan. Untuk membuka kesadaran seseorang tentang bela negara maka orang itu perlu tahu, mengerti, paham tentang kebaikan dan kebenaran yang mesti diterima timbal-balik antara individu warga negara dan negara. Pengetahuan yang membentuk kesadaran dan kemudian menjadi daya dorong gerak perjuangan itulah yang di Pergerakan Kebangsaan disebut sebagai “the power of knowledge”.
Setelah tahap kesadaran merasa ikut memiliki sudah terbangun, tahap berikutnya adalah membangun kesadaran “wajib melu hangrungkebi” (berkewajiban ikut membela). Di tahap ini ditumbuhkan kesadaran tentang kewajiban moral atau tanggung jawab moral. Proses internalisasi atau penghayatan atas nilai-nilai kebaikan dan kebenaran kiranya menjadi kunci bagi terbentuknya tanggung jawab moral. Internalisasi nilai adalah kunci agar kewajiban “melu hangrungkebi” itu muncul sebagai tuntutan dari dalam dirinya sendiri, bukan tuntutan dari pihak luar dirinya. Dengan proses internalisasi tersebut akan terbangun struktur kesadaran bahwa hadirnya kebenaran dan kebaikan bagi diri sendiri adalah berawal dari diri sendiri pula, bukan dari pihak lain. Orang Jawa bilang: “Sapa nandur bakal ngunduh”, siapa menanam dia akan menuai. Senada dengan Al Qur’an, Surat Ar Ra’d (13:11) yang menyatakan “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Sesungguhnya tidak ada yang lebih mampu menolong diri kita selain diri kita sendiri. Kiranya satu makna dengan prinsip “self help” yang menjadi asas perjuangan Pergerakan Kebangsaan.
Orang bergerak menuju pencapaian keinginan, harapan dan cita-cita dapat dipastikan tidak berangkat dari titik kosong tanpa rencana. Derajat keberhasilan pencapain tujuan sangat ditentukan oleh kualitas perencanaan. Hal mendasar dalam menyusun satu rencana, salah satunya adalah mengukur bekal dan kemampuan kiranya sepadan atau tidak dengan angan yang hendak diraih. Maka Pangeran Sambernyawa menekankan pentingnya mulat sarira ‘mawas diri’ agar benar-benar hangrasa wani ‘yakin dengan keberaniannya’, bukan waton wani ‘asal berani’ yang cenderung berujung kekonyolan (kegagalan). Sebuah prinsip yang kiranya menjadi penentu kemenangan Pangeran Sambernyawa di setiap pertempuran. Dalam menentukan hangrasa wani ‘yakin berani’ sudah barang tentu tidak hanya berdasarkan pertimbangan mengukur potensi diri, tetapi juga menakar potensi lawan. Satu prinsip dasar menyusun strategi perang.
Ketika kita berkeinginan dan berencana melakukan perubahan besar dan mendasar bagi Indonesia, mulat sarira merupakan prasyarat mutlak. Dengan mulat sarira kita dapat memastikan tentang siapa diri kita dan siapa orang lain yang berhadapan dengan kita. Mengenali diri sendiri bisa berangkat dari mengenali orang lain. Atau, dengan mengenali orang lain kita akan dapat mengenali diri sendiri. Dengan mengukur potensi pihak lain, kita dapat menakar potensi diri sendiri. Maka mulat sarira dapat dimaknai mawas diri kedalam dan keluar agar ketika kita memutuskan berani bergerak menempuh perjuangan benar-benar berangkat dari perhitungan yang matang tentang kekuatan dan kemampuan kita sehingga menjamin keberhasilan.

Merawat Keberhasilan
Pelajaran yang kemudian juga dapat kita petik dari Pangeran Sambernyawa adalah bahwa “mencapai keberhasilan adalah hal utama, merawat keberhasilan adalah lebih utama”. Pepatah Jawa mengatakan: “gawe luwih gampang katimbang ngopeni” (membuat lebih mudah ketimbang merawat). Pesan pelajaran itu memang tidak terungkap secara eksplisit, namun secara implisit dapat kita lihat melalui rangkaian fakta sejarah yang berhubungan dengan perjalanan eksistensi Kadipaten Mangkunegaran.
Kharisma Kadipaten Mangkunegaran makin bersinar dari waktu ke waktu, sekurang-kurangnya hingga kekuasaan Mangkunagara VII. Mangkunagara II terkenal dengan pemerintahannya yang tidak sebatas makin rasional, juga ekspansif dan lihai bermain peran di kancah politik berhadapan dengan Kasunanan, Kasultanan dan VOC. Mangkunagara III mengembangkan sistem pemerintahan yang lebih sistematik dan lebih mandiri dalam hubungannya dengan Kasunanan. Mangkunagara IV benar-benar memajukan perekonomian Mangkunegaran yang bermuara pada kesejahteraan rakyatnya. Mangkunagara IV melakukan terobosan baru dalam mengembangkan potensi ekonomi kerajaan dengan jurus-jurus pentingnya, seperti memperkuat industrialisasi pertanian dengan sistem irigasi, pendirian pabrik gula Tasikmadu pada tahun 1863, dan yang tak kalah penting eksistensinya di dunia kesusasteraan. Dia tercatat sebagai salah satu pujangga besar Jawa, banyak judul karya sastra yang lahir dari kreativitasnya, sebagian diantaranya yang sangat populer adalah “Serat Wedhatama” dan “Serat Tripama”. Mangkunagara V yang bertahta dalam kurun waktu singkat tak mampu berbuat banyak, bahkan pada eranya perekonomian Mangkunegaran terancam bangkrut karena tak mampu menghadapi persaingan di perdagangan dunia, terutama menghadapi produksi gula dari Brasilia. Mangkunegara VI yang kemudian menyelamatkan perekonomian dan keuangan Mangkunegaran, ia juga banyak mengubah aturan kerajaan menjadi lebih demokratis, namun sangat tegas memberantas premanisme. Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun 1916. Ia juga turut menjadi tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasehat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa. Mangkunagara VIII terpaksa tak mampu berbuat banyak. Baru saja dilantik sudah harus menghadapi arus perubahan politik yang besar, Mangkunegara VIII kesulitan memposisikan diri untuk menjaga kedaulatan wilayah karena desakan arus politik yang mengakibatkan wilayah Surakarta (termasuk Mangkunegaran) digabungkan ke dalam provinsi Jawa Tengah sejak 1950.
Kesuksesan pemegang tahta generasi pasca Pangeran Sambernyawa dalam membesarkan dinasti Mangkunegaran kiranya tidak berdiri sendiri. Kesuksesan itu tidak lepas dari pondasi sistem yang sebelumnya telah dibangun oleh Mangkunagara I. Terlihat semua Adipati pemegang tahta Mangkunegaran masing-masing berkharakter beda. Namun demikian perbedaan kharakter tersebut saling menguatkan atau mengisi kelemahan kekuasaan sebelumnya. Pada hematnya ada benang merah yang mengawal alur dinasti Mangkunegaran dari penguasa satu ke penguasa berikutnya menjadi berkesinambungan. Benang merah tersebut tiada lain adalah adanya seperangkat rumusan nilai ideologis yang diletakkan sebagai pondasi berdirinya Kadipaten Mangkunegaran oleh sang founding father, Pangeran Sambernyawa. Sebaliknya, kesinambungan eksistensi tersebut juga tidak lepas dari faktor kesetiaan terhadap nilai-nilai ideologis tersebut pada diri para generasi pemegang tahta kekuasan berikutnya. Nilai gampang dirumuskan, namun keberadaan dan keberlangsungan implementasi nilai tersebut tidak bergulir menggelinding begitu saja dengan sendirinya, tetapi niscaya ada sistem yang mengawalnya. Artinya di sana ada sistem, termasuk di dalamnya proses kaderisasi, yang menjadi wahana pewarisan ideologi. Sebuah bangunan sistem sebagai realisasi kesadaran dan tindakan merawat keberhasilan. Sesuatu yang tidak kita miliki saat ini. Seyogyanya ke depan, hal “merawat keberhasilan” menjadi pertimbangan bagi kita semua elemen bangsa yang berharap, bepikir dan berjuang melakukan perubahan besar dan mendasar bagi Indonesia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar