Ajang Kampret Ngomyang

Melalui ruang maya yang didapatken secara boleh pinjam pun juga terbatas ini selain menginformasikan tentang Wayang Kampung Sebelah, sekaligus sebagai ajang "ngomyang" bagi Kampret tentang apa saja dan sekenanya. Jadi ya harap dimaklumken ya, mas bro... Matur sembah nuwun awit karawuhanipun tuwin kawigatosanipun. Nuwun.

Rabu, 04 Mei 2011

NEGARA TIDAK PUNYA STRATEGI



Banyak kalangan menilai, bahwa dewasa ini negara tak mampu berbuat banyak mengatasi penderitaan yang dialami bangsa Indonesia, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kemelut politik, konflik sosial, krisis ekonomi dan bencana alam yang kesemuanya mengancam keutuhan dan keselamatan NKRI.

Persoalan mendasar yang menjadi akar dari segudang permasalahan yang dihadapi bangsa ini tiada lain kemerosotan moral bangsa. Dekadensi moral yang dialami bangsa Indonesia belakangan tampak makin parah bahkan sudah mencapai pada titik nadir. Hampir seluruh bagian dari masyarakat Indonesia sudah tidak mau mengerti dan menjalani hal yang baik bagi bangsa dan negara.

Nasionalisme dan jiwa kebangsaan terkikis oleh kepentingan kelompok. Kebersamaan dan kegotong-royongan terkikis oleh semangat individualisme yang makin menebal. Keadilan dan kebenaran raib termakan kemunafikan. Lingkungan alam makin hancur oleh nafsu ketamakan.

Dekadensi moral bangsa tersebut berangkat dari ketidakmampuan negara atau pemerintahan mengawal eksistensi falsafah dan ideologi bangsa: Pancasila. Diawali sejak pemerintahan Orde Baru yang memanfaatkan Pancasila sebagai ideologi represif. Di masa itu Pancasila dikhotbahkan, diindoktrinasikan, disakralkan, ditafsir-tunggalkan, dijadikan political hammer, dan ironisnya lagi tingkah laku para pejabat yang ke mana-mana menyuarakan Pancasila tidak memberikan teladan yang selaras dengan Pancasila. Citra Pancasila menjadi jeblok dan rakyat kebanyakan pun kemudian merasakan trauma ketika mendengar Pancasila karenanya. Padahal Pancasila tidak salah!

Pemerintahan-pemerintahan berikutnya yang seharusnya meluruskan persepsi maupun implementasi Pancasila yang keliru malah enggan menyebut-nyebut Pancasila dalam wacana politiknya. Hal itu menjadi tengara bahwa negara memang tidak lagi memiliki strategi politik dan strategi kebudayaan yang jelas dan tegas.

Strategi Politik
Pancasila sebagai strategi politik sesungguhnya merupakan solusi cerdas yang ditawarkan pendiri bangsa untuk mengatasi keragaman dan berbagai masalah dasar yang bisa timbul karenanya sehingga mengancam persatuan bangsa.

Sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Moh Yasir Alimi (Kompas, 11/3/2006), sekurang-kurangnya ada empat masalah dasar yang dijembatani Pancasila. Pertama, ketegangan yang bisa terjadi akibat keragaman agama, budaya, etnik, norma sosial dan bahasa. Kedua, soal hubungan mayoritas dan minoritas. Ketiga, soal posisi agama dan Tuhan dalam negara-bangsa. Keempat, soal relasi agama dan adat-istiadat yang menjadi identitas bangsa.

Sebagai strategi politik, Pancasila mempertemukan keanekaragaman poros agama, adat, dan norma sosial. Di sana sari pati agama paling dalam berdialog dan sepakat mendirikan negara-bangsa. Di sana identitas kesukuan: Jawa, Sumatera, Bali, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan lain sebagainya terwakili. Di sana mayoritas tertampung, minoritas pun terlindungi.

Dengan berdasarkan Pancasila, maka demokrasi yang dikenal di Indonesia bukanlah demokrasi mayoritarian, melainkan demokrasi Pancasila. Di sana demokrasi mayoritarian diadopsi pada area tertentu dan digabungkan dengan perlindungan hak-hak minoritas.

Pancasila juga memberi arahan kepada kita, bahwa Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler, sehingga agama dan Tuhan bukanlah konstitusi tertinggi. Maksudnya adalah Negara menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Oleh karenanya negara menganjurkan (mewajibkan) kepada warganya untuk bertuhan (beragama). Negara tidak mengarahkan warganya untuk memeluk satu agama tertentu, negara memberi kebebasan warganya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihan keyakinan masing-masing. Dari pengertian tersebut maka dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan atau negara yang berketuhanan, tetapi bukan negara agama. Negara tidak mendasarkan diri pada hukum agama tertentu sebagai konstitusi tertinggi.

Adat-istiadat yang beragam pun dihormati dan diabadikan dalam semangat bhineka tunggal ika. Dalam Pancasila ada proses penggalian nilai dan identitas bangsa berdasar lanskap sosial, kultural dan religiusnya yang beragam. Religiusitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadlian sosial yang menjiwai Pancasila oleh karenanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

Strategi Kebudayaan
Mutu kehidupan bangsa tidak layak diukur oleh tingkat kemakmuran material belaka. Mutu kehidupan akan meningkat terutama oleh kekayaan wawasan kultural. Kekayaan inilah yang selanjutnya akan menumbuhkan kesadaran identitas atau jati diri kita sebagai bangsa. Wawasan kultural yang canggih akan memperkokoh ketahanan kita menghadapi kegoyahan nilai dan sengketa norma oleh berbagai pengaruh budaya manca.

Untuk memperkaya dan memperluas wawasan kultural, pertama-tama kita harus tegak berdiri di atas matriks budaya kita sendiri, yaitu budaya Indonesia. Oleh karena itu eksistensi budaya harus terjamin keberlangsungannya.

Dalam Pancasila, adat-istiadat yang beraneka ragam dihormati dan diabadikan dalam semangat bhineka tunggal ika. Di sana terdapat proses penggalian nilai dan identitas bangsa berdasar lanskap sosial, kultural dan religiusitasnya yang beragam. Di sinilah letak Pancasila sebagai strategi kebudayaan, sebuah strategi dalam rangka menjaga stabilitas kebudayaan.

Muelder dalam bukunya “Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional” (1996) mengutarakan, bahwa sistem-sistem sosial yang kurang lebih stabil bercirikan suatu stabilitas kebudayaan, yaitu semua anggota masyarakat menerima nilai-nilai yang sama sebagai pedoman hidupnya. Pada masa sebelum pembangunan dimulai, dan terutama sampai pada permulaan abad ke dua puluh, Indonesia memiliki kontinuitas kebudayaan serupa itu. Sebagai misal, masyarakat golongan petani miskin menerima begitu saja kedudukan istimewa dari golongan atasan feudal, tradisi tidak menantang sistem sosial itu atau nilai-nilai dasarnya. Tetapi sejak permulaan abad ini, khususnya setelah kemerdekaan tercapai, maka keutuhan kebudayaan tersebut ditantang oleh nilai-nilai baru, yang sering diimpor dari luar negeri. Sekalipun demikian namun dapat dikatakan bahwa kebanyakan penduduk tetap berakar dalam kebudayaan tradisional, dan hanya lambat laun memberikan dimensi-dimensi baru bagi cara berpikirnya, tanpa merubah orientasi nilai-nilai lama secara efektif. Konflik-konflik timbul, karena elit di atas terasing dari akar kebudayaannya, karena pendidikan modern dan karena masuknya apa yang dinamakan nilai-nilai universal atau orientasi ideologis baru. Diskontinuitas kebudayaan timbul lagi dari proses pembangunan sendiri dan dari kemiskinan.

Dulu kaum elit cukup puas dengan menganggap dirinya sendiri jauh lebih tinggi dari pada orang-orang lain dan dekat pada Tuhan. Tetapi kini semuanya telah berubah. Kini golongan elit mengagumi segala yang datang dari dunia modern di luar negeri. Cara-cara tertentu dalam pergaulan ditiru dengan setia; demikian pula cara berpikir asing. Ini berlaku pula bagi mode, cara mengatur rumah, rekreasi dan sebagainya, sampai mencampurkan banyak kata-kata asing dalam bahasanya sendiri.

Warga golongan elit ini, terutama yang baru muncul, makin lupa akan latar belakang kebudayaannya, mereka tidak merasa bangga akan sejarah bangsanya sendiri atau sukses-suksesnya dalam bidang kebudayaan. Mereka merasa minder terhadap kebudayaan Barat yang dengan asyik mereka tiru. Kini para elit baru sedang sibuk memutuskan diri dengan akar-akar kebudayaannya sendiri dengan menjiplak kebudayaan Barat. Krisis identitas ini di tengah-tengah generasi muda yang dalam waktu dekat akan memimpin bangsa dan negaranya, berarti suatu bahaya besar di kemudian hari.

Ki Jlitheng Suparman
Dalang Wayang Kampung Sebelah dan Wayang Climen